MUSTAMSIKIN

Tafsir Al-Hasan Al-Bashriy

Sunday, November 8, 2020

Sarana Bersuci dan Tujuannya

Sarana Bersuci dan Tujuannya
Oleh Mustamsikin

Sebelum bersuci atau thaharah penting untuk terlebih dahulu mengenal berbagai sarana atau alat yang dapat digunakan untuk bersuci. Baik bersuci dari hadas maupun najis. Hal ini menjadi penting sebab tanpa mengetahui terlebih dahulu mustahil untuk menggunakannya.

Membincang sarana bersuci, terdapat empat yakni, air, debu, alat menyamak, batu untuk istinjak (cebok). Empat sarana atau alat tersebut dapat dioprasikan untuk bersuci jika memenuhi syarat-syarat masing-masing di antaranya. Air dapat memyucikan jika ia memikiki sifat mutlak--tidak terikat oleh sifat apapun--seperti air teh (air yang sudah bercampur dengan teh). Debu jika ia murni dan belum pernah digunakan untuk bersuci atau musta'mal. Alat menyamak dengan syarat memiliki sifat masam (Jawa: Sepet) yang dapat menghilangkan busuknya kulit bangkai.  Batu untuk istinjak dengan syarat suci, keras, bukan batu yang dimuliakan.

Beberapa sarana atau bersuci di atas merupakan alat yang sering dan lazim kita ketahui. Utamanya dalam mazhab Syafi'iy. Akan tetapi tidak menutup ruang adanya alat bersuci berupa api--dalam pendalat mazhab Hanafiy.  Meski hanya sebagai pengetahuan dan tidak perlu untuk dicoba namun tetap penting bahwa api dapat digunakan sebagai alat bersuci. Mengutip penjelasan Gus Baha' barangkali jika ada orang masuk neraka terlebih dahulu ia akan suci kemudian setelah dibakar dengan api neraka sehingga pantas masuk surga. 

Kemudian diatas juga disebutkan bahwa air, merupakan alat bersuci. Dalam tinjauan  sementara sebagian sufi, air dapat menghidupkan ruh. Sebagaimana sifat air yang dapat digunakan menyirami tanaman yang mati. Sehingga ruh hidup dan sadar ketika ia sedang menghadap Allah saat beribadah. 

Setelah mengenal sarana bersuci di atas, perlu diketahui juga beberapa tujuan bersuci. Tujuan bersuci  yang dimaksud ada empat yakni wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Masing-masing di antaranya akan diuraiakan lebih lanjut pada pembahasan mendatang.

Demikian uraian mengenai sarana bersuci dan tujuannya. Semoga bermanfaat. 

Wallahu A'lam Bisshawab
Kediri, 08-11-2020 

Sumber bacaan. Al-Yaqut Al-Nafis, Al-Mizan Al-Kubra, Rahmatul Umah.

Saturday, November 7, 2020

THAHARAH

Thaharah
Oleh Mustamsikin

Memahami syarat-syarat ibadah sangat penting. Apalagi ibadah seperti salat yang diantara syaratnya harus bersiah dari hadas dan najis. Paling tidak sebagai permulaan perlu sekali dengan mengkaji dan memahami istilah thaharah atau bersuci. 

Thaharah secara bahasa memiliki arti kebersihan dan kejernihan dari kotoran yang dapat dipotret oleh panca indra maupun secara maknawi seperti sifat tercela (aib). Sedang secara istilah thaharah yakni melakukan aktivitas yang dapat melegalkan bolehnya ibadah meskipun dengan sebagian jalan--alternatif--seperti tayammum, atau untuk memperoleh pahala seperti mandi sunah.

Berangkat dari definisi di atas penting dipahami bahwa thaharah begitu penting. Tanpa mengenal dan mendalami secara komprehensif (menyeluruh) tentang makna bersuci dan hal-hal yang bertalian dengannya ibadah--yang mempersyaratkan bersuci terlebih dahulu--seseorang akan sia-sia. Misalnya seseorang yang menjalankan salat namun ia tidak _istinjak_ atau cebok setelah buang air besar. Bagiamana pula misalnya orang yang terkena kotoran ayam kemudian langsung mengerjakan salat. Contoh yang demikian merupakan hal-hal yang fatal dalam beribadah sebab tidak memahami tatacara bersuci dan yang bertalian dengannya.

Dari pengertian thaharah di atas juga disinggung tentang bersih dari sifat tercela.   Maksudnya dalam skup tang lebih luas bersuci tidak hanya dari hadas dan najis sebagaimana yang umum diketahui dalam pembahasan fikih, namun juga bersuci dari sifat tercela seperti dengki. Bahkan,  sebagian ulama ada memberikan kategori thaharahnatau bersuci dengan tingkatan-tingkatan hirarkis. 

Pertama, bersuci pada bagian lahir atau luar dari hadas. Kedua, bersuci pada anggota badan dari kesalahan dan dosa. Ketiga, menyucikan hati dari akhlak tercela. Keempat, menyucikan bilik rahasia (sir) dari mengingat selain Allah sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi dan kelompok siddiqin.

Dari klasifikasi ingkatan-tingkatan thaharah inilah kemudian penulis memandang bahwa ada titik-titik pemisah antara komunitas orang awam dengan orang khas. Kendati demikian itulah tingkatan, atau tahapan  atau apalah yang sehingga seseorang dapat berupaya lebih baik untuk selalu meningkatkan kedekatan pada Allah, paling tidak dengan memperhatikan sudah sejauh mana ia berthaharah. 

Perlu di catat pula seseorang tidak akan sampai pada tingkatan teratas besuci kecuali ia mendaki tangga pertama terlebih dahulu. Yakni bersuci dari hadas dan najis. Beru kemudian bertahap hingga ia memasuki bilik, takhalli, tahalli, dan tajalli. Sebagaimana kita pahami dalam tingkatan maqamat dan ahwalnya para sufi. 

Demikianlah, secuplik makna thaharah dalam silang rumusan fuqaha' dan shufiyyah. Untuk selanjutnya akan dibahas tentang belantara kajian dalam thaharah seperti wudhu, tayamum, cara menghilangkan najis dan lain-lain. 

Wallahu A'lam Bisshawab
Kediri, 07-11-2020.
Sumber Rujukan, Al-Yaqut Al-Nafis Fi Mazhab Ibn Idris karya Habib Ahmad bin Umar Al-Syatiriy dan Mukhatshar Ihya' Ulumuddin.

Storan sunah.

Friday, November 6, 2020

FIKIH

Fikih
Oleh Mustamsikin

Dalam setiap cabang ilmu tak terkecuali fikih tidak terlepas dari sepuluh hal yang bertalian dengannya. Meliputi, pengertian, tema, faidah, problematika, nama, referensi, hukum mengkajinya, hubungan dengan ilmu lain, keutamaan dan peletak atau pencentusnya. Sepuluh hal inilah yang kemudian disebut epistemologi ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. 

Bertalian dengan memahami fikih sebagai ilmu, sepuluh hal ini harus diketahui. Pertama, definisi fikih. Fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci. Sedang tema fikih atau pokok bahasan fikih adalah perbuatan orang (mukallaf) orang yang dituntut menjalankan perintah Allah. 

Kemudian, faidah fikih adalah menjalankan perintah dan menjahui larangan. Adapun problematika atau masalah dalam fikih adalah masalah yang hadir dalam bahasan di dalam fikih. Selain problemtika, nama ilmu ini disebut dengan fikih. Yang sumber referensinya adalah al-Qur'an, hadis, ijmak dan qiyas. 

Dalam hukum memelajarinya, adalah fardu'ain. Wajib, dalam hal-hal ibadah, muamalah, nikah yang hanya akan sah dengannya. Demikian sudah cukup sedang lebih dari itu merupakan kesunahan. Hubungan fikih selalu update dan kontekstual. Keutamaan fikih adalah mengungguli ilmu-ilmu lain. Peletaknya adalah para imam mujtahid.

Demikian yang perlu dipahami dari fikih. Untuk memperluas bacaan pembaca dapat merujuk kitab-kitab fikih yang otoritatif.

_Wallahu A'lam_

Dikutip dari _Al-Yaqut Al-Nafis Fi Madzhabi Ibn Idris_ Karya Habib Ahmad bin Umar Al-Syatiri h. 14-15.

Thursday, October 15, 2020

Jangan Ikut Menjadi Pengatur

Jangan Ikut Menjadi Pengatur
Literasi Kitab Kuning 2
Oleh Mustamsikin

Kehendakmu untuk tajrid bersamaan penempatan Allah atasmu pada asbab bagian dari keinginan yang samar. Dan kehendakmu pada asbab bersamaan kehendak Allah atasmu pada tajrid tersungkur dari cita-cita yang luhur (Syaikh Ibn 'Athaillah Al-Sakandariy)

Jamak diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Ia ada sebab diwujudkan, ia tidak ada sebab ditiadakan. Keberadaanya adalah mumkinul wujud sesuatu yang mungkin bukan sesuatu yang wajib layaknya Allah Swt. Sehingga sudah barang tentu sesuatu yang mungkin tidak mampu mengatur dirinya sendiri. 

Bukti lain bahwa manusia lemah adalah tidak dapat menarik kembali ruh saat hendak meninggalkan jasad. Jangakan menarik ruh yang mau lepas, memilih orang tua dan kapan ia harus dilahirkan saja manusia tidak mampu.

Bersamaan dengan kelemahan pada diri manusia seperti inilah yang kemudian ia harus pula sadar. Harus mau tunduk aturan yang ditetapkan oleh Allah yang mengatur. Mengikuti, kehendak dan ketetapan Allah Swt.Termasuk dalam hal kapan ia harus memosisikan diri pada keadaan yang dihidangkan Allah. Kapan ia harus memilih asbab (memenuhi kebutuhan duniawinya dengan kerja keras) atau ia harus memilih tidak melakukan tindakan itu (tajrid). Sebagaimana ungkapan Ibnu 'Ata'illah dalam kitab Al-Hikam sebagimana di atas.

Bertalian dengan pemahaman mengenai asbab maupun tajrid keduanya dapt dimaknai sebagai kedudukan dalam suatu keadaan atau keduanya menurut Kiai Imron Jamil keduanya ibarat hidangan. Yakni hidangan Allah Swt pada manusia. Keduanya dihidangkan namun kapan ia harus menikmati itu menunggu izin dari Allah. Ketika manusia disuguhkan dan dizinkan dengan hidangan asbab dalam arti ia harus menikmati hidangan itu. Yakni dengan berusaha keras bekerja--dengan berbagai jenisnya--untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak boleh kemudian ia berkeinginan berhenti bekerja atau ingin di PHK (mentajrid dirinya sendiri). Jika manusia tadi memikmati hidangan ini sesuai pilihan Allah maka sungguh ia telah patuh kepadanya. Namun jika ia memilih sendiri--di dudukkan pada asbab namun memilih tajrid maka ia telah terserat sahwat yang samar. 

Sebagai permisalan ketika seseorang memilih tajdir meninggalkan asbab adalah ketika seseorang usia kerja kemudian sudah memperoleh pekerjaan mapan namun ia ingin menganggur meninggalkan pekerjaannya. Orang yang seperti ini dapat dikatakan memilih kehendaknya sendiri untuk tidak menikmati hidangan Allah. Jika telah demikian maka Allah pula akan memasrahkan segala urusan atas pilihan orang tersebut (tidak turut campur apapun yang terjadi kemudian). 

Sepadan dengan hal  di atas ketika seseorang memilih menikmati menu asbab sedang ia dihindangkan pada menu tajrid maka yang demikian ini juga tidak baik--dalam arti tidak sesui dengan kehendak Allah. Misal, orang yang sudah uzur kemudian ia memaksa dirinya melakukan kerja kasar misalnya. Maka orang yang seperti ini kata Ibnu 'Ata'illah mengalami kemerosotan dari cita-cita atau kedudukan yang luhur. Seharusnya orang seperti ini tidak lagi memaksakan diri tetap memikirkan duniawi--kerja kasar misalnya--padahal ia tidak lagi mampu. Yang seperti inilah dikatakan sebagai orang yang mengatur dirinya sendiri tidak mau menjaga adab atas pengaturan Allah. 

Selanjutnya, untuk mengatahui apakah ia menikmati atau tidak hidangan Allah berupa asbab atau tajrid sesuai kehendak-Nya Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Randiy mengatakan, "Jika kamu dilanggengkan Allah pada kedudukan itu (asbab atau tajrid) hingga kamu memperoleh hasil." Ungkapan Al-Randiy, ini memberi penegasan bahwa orang yang kehendaknya sesuai dengan kehendak Allah ia akan memperoleh sampai pada hasil. Sebaliknya jika tidak sesuai dengan kehendak Allah maka ia tidak akan akan memperoleh hasil. 

Demikianlah sekelumit ilustrasi tentang ungkapan Syekh Ibnu 'Atha'illah tentang dua hidangan Allah asbab dan tajrid. Meski kadang manusia sering keliru memilih, namun begitulah manusia. Asal ia sadar bahwa ia makhluk lemah yang hanya menerima diatur oleh Allah maka masih baiklah ia. Paling tidak menurut pandangan Ibnu' Ata'illah.

Di sisi lain, memang tidak mudah dan diperlukan latihan ekstra keras mengamini kalimat bijak Syekh Ibnu 'Atha'illah. Kalimat-kalimat penunjuk kedudukan tinggi pengucapnya di hadapan Allah. Di tambah lagi perlu iman yang kokoh, tauhid yang mapan dan kesadaran yang jernih yang didukung dengan hidayah dari Allah Swt.

Terakhir semoga penjelasan di atas ada manfaatnya. Paling tidak untuk menumbuhkan kesadaran bahwa Allah adalah pengatur sesungguhnya. Manusia tinggal menurut perintah dan kehendaknya--hanya menerima diatur bukan ikut mengatur. Toh sudah barnag tentu manusia tetap manusia yang tak pernah lepas dari kelemahan dan keterbatasan. 

Wallahu A'lam Bishawab
Kediri, 14-10-2020.
Sumber foto http://www.dkislamiyah.co.id/produk-kami/122/MATN-ALHIKAM-ALATHAIYYAH.html

Tuesday, October 13, 2020

Berpegang Pada Amal

Berpegang Pada Amal
Literasi Kitab Kuning Al-Hikam
Oleh Mustamsikin

"Di antara tanda berpegang pada amal adalah pupusnya harapan ketika terjadinya kesalahan"
(Ahmad bin Ata'illah Al-Sakandariy)

Bagi orang telah memiliki keyakinan penuh pada penciptanya yakni Allah Swt., maka tidaklah ia menyandarkan apa yang ia lakukan pada dirinya. Semuanya dikembalikan kepada Allah Swt. Kebaikan atau keburukan yang ia lakukan semata-mata sebab berlakunya qadha' dan qadar-Nya.

Keyakinan yang demikian di kenal dalam dunia tasauf sebagai maqamnya para 'arifun (ahli ma'rifat dengan Allah). Ahli ma'rifat yang menyelamkan dirinya pada lautan tauhid. Pengesaan pada Allah zat yang maha tunggal. Para orang seperti inlah yang hanya berpegang erat pada Allah tidak selainnya.

Kuatnya pegangan para 'arifun menjadikan mereka berpredikat sebagai golongan yang berkebalikan dengan jahilun. Sebagimana Muhammad bin Ibrahim Al-Randiy mengatakan, "Berpegang pada Allah adalah sifat para 'arifun muwahhidun sedang berpegang pada seliannya merupakan adalah sifat para jahilun yang lalai.

Mengapa para 'arifun sedemikian kuat mereka berpengang pada Allah semata, sebab meraka telah menyaksikan sedemikian rupa pengaturan Allah disertai dengan kedudukan yang amat dekat dengan-Nya. Sehingga kebaikan ataupun kesalahan yang mereka lakukan tidak lagi mereka sandarkan pada diri mereka sendiri. Sebab terjadinya kebaikan atau keburukan yang mereka lakukan tak lain tak bukan adalah berlakuknya takdir Allah Swt. Sebab semuanya Allah, maka harapan atau raja'  dan takut khauf meraka setara. Takut meraka tidak berkurang dan pengharapan mereka tidak pula bertambah. 

Di sisi lain para 'arifun telah menggapai maqam (kedudukan) fana'  atau sirna, lenyap serta hengkangnya rasa peng-aku-an pada dirinya. Tidak lagi mengaku atau merasa ia adalah subyek. Misalnya ia mengatakan, "Ini aku yang melakukan. Ini aku yang mengendalikan. Ini jasaku ini, ini kepunyaanku, ini kehendakku, ini kekuasaanku, ini kesalahanku." Dan peng-aku-an ini, itu yang lain.

Jika seseorang telah mencapai kedudukan seperti ini maka duduklah ia setara dengan ungkapan Ibnu Ata'illah di atas. Ia tidak lagi berpegang pada amal semata. Sebab amal yang ia lakukan dan keadaan yang meliputi dirinya sejatinya adalah garis ketetapan Allah. Sejatinya bukan ia yang melakukan, tapi Allah. Allah yang menciptakan manusia dan perbuatannya sekaligus. Di saat yang sama maka ia tidak akan pernah putus asa dan terus ada harapan ampunan Allah dari Allah, ketika tergelincir pada kesalahan. Toh juga kesalahan itu juga perbuatan yang diciptakan Allah dan diberlakukan kepada hambanya. 

Demikianlah sekelumit tentang bahasan atas ungkapan menarik Ibnu 'Ata' illah Al-Sakandariy dalam magnum opusnya kitab Al-Hikam. Meski mungkin ungkapan seperti ini adalah cerminan ekspresi kedudukan yang telah diperoleh Ibnu 'Ata'illah, namun tidak menutup ruang kita menggapainya. Bahkan dapat menjadi solusi dikalah setan menggoda kita memupus harapan dan membuntui jalan ketika kita hendak bertaubat atas kesalahan yang kita lakukan. 

Di samping itu, penulis yakin bahwa ungkapan-ungkapan dalam kitab Al-Hikam seperti di atas dapat kita amini. Dapat ditempuh dan dicerna serta dirasakan. Diupayakan untuk digapai. Sehingga tak lagi ada rasa ragu apakah Allah masih membuka pintu taubat ataukah sudah menutupnya rapat-rapat. 

Demikian kajian pada kesempatan ini semoaga bermanfaat. Semoga ada kesempatan kembali untuk kajian yang selanjutnya. 

Wallahu A'lam Bisshwab
Kediri, 13-10-2020.
Sumber bacaanSyarhul Hikam Ibnu Ibad Ar-Randiy

Saturday, August 8, 2020

Hidup Tanpa Aksara

Hidup Tanpa Aksara
Oleh Mustamsikin
Lama sudah tidak menulis. Bahkan tidak juga membaca. Itulah saat ini yang penulis alami. Tidak ada satu artikelpun yang nayang dalam blog, facebook, maupun grup wa yang penulis posting. 

Suasana hidup yang tidak menentu membuat semua ide menukis mandek. Tidak ada suplemen pendorong untuk menulis kembali dengan serius. Ternyata inilah kehidupan yang tidak menentu sehingga pengaruhnya turut menyasar spirit menulis. Daya dorong menulis yang lenyap begitu saja. 

Friday, August 7, 2020

Hidup Tanpa Aksara

Hidup Tanpa Aksara
Oleh Mustamsikin
Lama sudah tidak menulis. Bahkan tidak juga membaca. Itulah saat ini yang penulis alami. Tidak ada satu artikelpun yang nayang dalam blog, facebook, maupun grup wa yang penulis posting. 

Suasana hidup yang tidak menentu membuat semua ide menukis mandek. Tidak ada suplemen pendorong untuk menulis kembali dengan serius. Ternyata inilah kehidupan yang tidak menentu sehingga pengaruhnya turut menyasar spirit menulis. Daya dorong menulis yang lenyap begitu saja. 

Thursday, June 25, 2020

Membincang Pandangan Umar Terhadap Sebuah Cobaan

Membincang Pandangan Umar Terhadap Sebuah Cobaan
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy
Oleh Mustamsikin

Umar bin Khatab adalah sosok khalifah kedua Islam pasca Rasul Saw., yang dikenal dengan sikap tegasnya. Di samping tegas, Umar memiliki konsistensi dan keberanian yang luar biasa dalam memperjuangkan Islam. Ia sosok pemberani yang konon hingga beliau berhadapan dengan malaikat di alam barzakh pun masih dengan sosok beraninya.

Sosok Umar memang memiliki banyak keistimewaan, tentu selain sifat-sifat yang telah penulis sebutkan di atas masih ada sisi Umar yang patut diteladani. Di antara keteladanan itu, ketika Umar bin Khatab memandang sebuah cobaan.

Cobaan atau ujian yang menimpanya tidak lepas dari kuasa Allah atas ujian itu. Allah senantiasa menaungi dalam setiap cobaan yang menimpa Umar. Lebih dari itu, Umar dalam ujian yang ia terima menuturkan ada empat nikmat yang membekas dalam ingatannya.

Nikmat yang pertama, cobaan yang diterima Umar tidak menimpa agamanya. Menurut Umar ini adalah satu nikmat yang luar biasa. Meski berupa ujian asal ujian itu tidak menimpa keyakinan atau yang bertalian dengan sisi agama seseorang maka masih dapat dikatakan dalam level aman. 

Mengapa demikian, Syekh Nawawi turut mendukung hal ini. Menurutnya, ujian yang menimpa agama seseorang atau keyakinan seseorang lebih berat dari ujian fisik maupun harta. Fisik boleh sakit, harta boleh habis namun itu tidak seberapa. Namun kalau iman yang goyah bahkan pudar maka sulit untuk dikembalikan tanpa disertai dengan hidayah-Nya. 

Nikmat dalam cobaan yang kedua menurut Umar, ujian itu tidak lebih besar dari ujian yang menimpa Umar. Maksudnya ujian yang dimaksud tidak melampaui  kapasitas kemampuan yang ditimpainya. Barangkali ujian ini tidak akan melampaui kemampuan yanh menerima ujian. Karena kadar kemampuan seorang hamba dalam menerima ujian telah disesuaikan oleh Allah. 

Nikmat ketiga dalam cobaan menurut Umar adalah tidak menutup pintu kerelaan dalam bersabar menerima cobaan itu. Nikmat dalam ujian ini jika dipikir memang sangat besar. Bagaimana seseorang mampu mengelola kesabaran saat menjalani cobaan, lebih tinggi nilainya daripada cobaan yang ia terima. Di sisi lain memang kesabaran adalah kunci menghadapi cobaan.

Terakhir dalam cobaan ada nikmat besar menurut Umar. Nikmat apa itu? Pahala yang besar. Besarnya cobaan yang diterima maka sebesar atau bahkan berlipat besarnya pahala yang akan didapatkan. 

Demikianlah beberapa sisi kistimewaan sosok Umar ketika memandang sebuah cobaan atau ujian. Semoga dengan mengetahui sisi-sisi Umar yang seperti ini kita dapat memetik ilmu. Paling tidak ilmu dalam menyikapi sebuah cobaan.

Wallahu A'lam Bisshawab

Wednesday, June 24, 2020

Sebab Nabi Dipanggil Tuan

Sebab Nabi Dipanggil Tuan
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy
Oleh Mustamsikin

Dalam sebuah penjelasan tentang firman Allah,"Wasayyidan Wahasuran Wanabiyyan minasshalihin" Syekh Muhammad bin Ahmad menuturkan maksud ayat tersebut dengan memberi penjelasan kenapa nabi disebut dengan istilah sayyidan? Syekh Muhammad meyebutkan bahwa Allah menyebut Nabi Yahya As., dengan sebutan sayyidan (tuan) padahal ia adalah hamba-Nya Allah. Hal ini sebab empat hal yang dimiliki oleh Nabi Yahya As--dan para  nabi yang lain. 

Pertama, Nabi Yahya As., dapat mampu menaklukkan hawa nafsu. Bagi seorang nabi atau rasul penting sekali memiliki kemampuan mengalahkan nafsunya sendiri demi eksistensinya sebagai utusan Allah. Dengan mengalahkan hawa nafsu para nabi dapat senantiasa menerima dan menyampaikan wahyu yanh ia terima murni bimbingan dari Allah. Bukan campur tangan nafsunya sendiri. Pun juga ketika ia membenci atau mengasihi umatnya.

Kedua, Nabi Yahya As., dapat menundukkan iblis. Sebagai nabi tentu mengalahkan iblis adalah satu hal penting yang harus dilakukan. Dengan mengalahkan iblis, para nabi atau rasul dapat secara leluasa menyampaikan ajaran yang ia bawa kepada umatnya. Belum lagi memang tugas iblis adalah menjerumuskan serta menghalang-halangi dakwa para nabi dan rasul. 

Ketiga, Nabi Yahya As., dapat menjaga lisannya. Perkara lisan agar tidak sembarangan berucap sangat penting bagi nabi atau rasul. Sebab pada mereka melekat sebutan nabi atau rasul yang lisannya tidak lain hanya berucap hal-hal yang suci. Perbincangan mereka juga bertalian dengan dakwah, bimbingan dan menunjukkan jalan keselamatan kepada umatnya.

Keempat, Nabi Yahya As., mampu meredam _ghadab_ (marah). Marah merupakan satu hal penting yang harus dihindari oleh nabi atau rasul. Sebab kemarahan mereka mendatangkan murka Allah. Sekali mereka marah pada umat, maka Allah tak segan untuk menurunkan bencana yang mampu membinasakan.  

Demikianlah alasan mengapa nabi disebut sebagai tuan oleh Allah meskipun jelas mereka adalah hamba-Nya. Semata-mata kerena mereka mampu mengendalikan paling tidak empat hal di atas. Mampu mengendalikan nafsu, mengalahkan iblis, megendalikan lisan dan meredam amarah.

Jika nabi saja oleh Allah yang berstatus hamba memperoleh sebutan tuan dengan kemampuan mereka atas empat hal di atas, maka kita semua pun  dapat meniru prilaku para nabi. Dengan meniru prilaku nabi, besar potensinya untuk memperoleh kedudukan yang luhur di sisi Allah. Setidaknya sebagai hamba-Nya yang saleh.

Wallahu A'lam Bisshawab.

Tegaknya Agama dan Dunia

Pondasi Tegaknya Agama dan Dunia
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy
Oleh Mustamsikin

Siapa yang tidak mengenan Imam Ali bin Abi Thalib. Sosok yang cerdas, berwibawa, kesatria nan pemberani yang pilih tanding. Kecerdasannya sangat diakui bahkan oleh Nabi Saw., semdiri. Ia merupakan pintu gerbang ilmu pengetahuan yang kotanya adalah Nabi Saw.

Termasuk bagian penting ketika memperbincangkan Ali bin Abi Thalib adalah kecerdasan dalam bernasehat. Nasehat yang dimaksud dalam kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini, berhubungan dengan pondasi tetap kokohnya agama dan dunia. Apa saja pondasi yang mampu meneguhkan tetap tegaknya agama dan dunia? Ali mengatakan, "Agama dan dunia tidak akan runtuh selama kokoh empat hal berikut."

Pertama, agama dunia tetap kokoh berdiri selama orang kaya tidak bakhil atas apa yang diberikan Allah kepadanya. Peryataan ini dipahami oleh Syekh Nawawi dengan penjelasan bahwa orang kaya yang tetap mau memberi orang yang meminta dan tidak menahan harta yang wajib ia keluarkan. 

Tiang pancang pertama pondasi agar agama dan dunia ini tetap kokoh di atas menggambarkan bagaimana pentingnya kedermawaan orang kaya. Kesadaran bahwa dalam kekayaannya ada jasa dan hak orang yang lemah dan membutuhkan. Maka sudah sepantasnya bila sebagian kekayaannya disalurkan kepada yang berhak dan tidak menahan harta yang sewajibnya ia keluarkan zakatnya.

Kedua, agama dan dunia tetap kokoh, selagi ulama beramal sesuai ilmunya. Ulama yang berprilaku, memerintah dan melarang sesuai dengan pengetahuannya. Ulama yang seperti inilah yang masuk dalam kriteria al-Ulama' al-Amilin.Mereka  berprilaku sesuai dengan ilmu yang mereka miliki.

Sosok kriteria yang seperti inilah yang pantas disebut dengan ulama. Tidak asal-asalan mengaku ulama. Apalagi baru belajar Islam, mengetahui hadis satu dan dua kemudian berfatwa tanpa ilmu. Yang demikian ini bukan ulama selain itu dapat sesat dan menyesatkan.

Ketiga, agama dan dunia tetap tegak selagi orang bodoh tidak sombong atas apa yang tidak ia ketahui. Selagi orang yang bodoh mau belajar dan tidak menyombongkan ketidaktahuannya maka agama dan dunia akan tetap kokoh. Lain halnya jika orang-orang kategori ini sudah tidak mampu ditambah tidak mau--belajar--masih saja belagu.

Syekh Nawawi memahami bahwa sepantasnya orang bodoh tidak abai atas ketidak tahuannya dan tidak henti-hentinya belajar atas apa yang tidak mereka ketahuai. Dengan demikian maka mereka akan selamat dan menyelamatkan banyak orang. Penulis memandang orang-orang seperti ini cukup banyak jumlahnya, bahkan tidak jarang mereka memamerkan ketidaktahuan mereka diberbagai media yang dapat merobohkan agama dan dunia.

Keempat, agama dan dunia tetap kokoh selagi orang-orang fakir tidak menukar akhirat mereka dengan perkara dunia. Jika orang-oranh fakir konsisten atas keyakinan mereka bahwa akhirat lebih kekal, tidak memperjual belikan keyakinan atas agama mereka dengan harta duniawi maka agama dan dunia akan tetap kokoh berdiri. Setidaknya agama atau keyakinan mereka akan tetap kokoh.

Tentang yang keempat ini, penulis memandang bahwa penting memperhatikan orang-orang fakir. Utamanya bagi para aghniya' yang dengan kecukupan hartanya seharusnya memberi bantuan kepada fakir dan miskin. Begitu juga orang-orang kategori ini harus beranjak dengan semangat untuk terbebas dari kefakiran. Berusaha dengan sekuat tenaga merubah nasib untuk lebih baik. Dengan tujuan mengjauhi kekafiran sebagaimana sabda Nabi Saw., "Dekat sekali kefakiran dengan kekafiran."

Demikianlah empat hal yang menjadi pondasi tetap tegaknya agama dan dunia. Semoga keemlat hal di atas masih dapat kita lihat di lingkungan sekitar kita. Sehingga agama dan dunia tetap tegak. Amin.

Wallahu A'lam Bisshawab

Saturday, June 20, 2020

Ketika Seorang Hamba Berdosa

Ketika Seorang Hamba Berdosa
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy
Oleh Mustamsikin

"Ketika seorang hamba berdosa maka Allah akan memberinya empat anugrah...,"
Sa'd bin Hilal

Betapa baiknya Allah, terhadap apa yang tidak kita minta Ia senantiasa memberi. Kita tidak meminta oksigen dalam setiap hela nafas kita, pun juga dalam doa-doa kita, namun Allah senantiasa memberi. Kita tidak meminta air secara terus menerus, namun Allah pancarkan air dari mata air dan Ia turunkan dari langit berupa hujan. Begitupula dengan panas sinar mata hari yang senantiasa kita butuhkan setiap hari untuk berbagai keperluan. Begitu baiknya Allah kepada semua hamba-Nya. Baik udara, air, sinar mata hari akan senantiasa Allah berikan kepada semua. Tidak hanya pada hamba-Nya yang taat, namun juga pada hamba-Nya yang bermaksiat pun demikian.

Tida cukup itu, sekali pun hamba-Nya berdosa Allah tetap memberi banyak hal. Bahkan, Sa'd bin Hilal menjelaskan betapa anugrah Allah tetap ia berikan kepada hamba-Nya, sekalipun si hamba tadi melakukan dosa. Sa'd bin Hilal mengatakan, "Ketika seorang hamba berdosa, Allah akan memberikan empat anugrah kepadanya. Pertama, Allah tidak menghalangi rizkinya. Kedua, tidak mencegah kesehatan hamba tersebut. Ketiga, Allah tidak memperlihatkan dosa hamba tersebut. Keempat, Allah tidak segera menghukumnya dalam waktu dekat." 

Dari perkataan Sa'd bin Hilal di atas jelas bahwasannya sekali pun hamba-Nya berdosa Allah masih memberinya anugrah. Hamba tersebut tidak dihalangi rizkinya. Meski hamba terus melakukan dosa pada-Nya namun rizkinya tetap Allah berikan. Inilah anugrah Allah yang sangat nampak pada hamba-Nya.

Begitu juga ketika hamba-Nya berosa ia tidak lantas dicabut kesehatannya. Ia masih memberi nikmat kepada hamba-Nya tadi berupa kesehatan. Sehingga dengan kesehatan tersebut si hamba tadi dapat berpikir jernih agar bertaubat dari dosanya.

Selanjutnya Allah juga masih menyembunyikan dosa yang dilakukan hamba-Nya. Bahkan Allah benar-benar menutup rapat dosa, kesalahan dan aib hamba-Nya selagi si hamba tadi tidak memamerkan dosa yang ia pernah lakukan. Tertutupnya dosa merupakan anugrah yang sangat nyata, utamanya bagi umat Nabi Muhammad Saw.

Selain dosa yang masih Allah sembunyikan, Allah menambahkan anugrah satu hal yang amat berharga bagi si hamba pendosa tadi. Anugrah apa itu? Allah masih menunda hukuman dosa hamba tadi sampai waktunya tiba. Artinya, Allah masih memberi kesempatan untuk bertaubat. Masih adanya kesempatan bertaubat bagi pelaku dosa merupakan kekhususan yang diberikan oleh Allah kepada umat Muhammad SAW. Lain dengan umat-umat terdahulu yang sekali ingkar akan dibinasakan secara langsung.

Tentang dosa yang tidak segera ditimpakan azabnya ini, Syaikh Nawawi menambahkan dalam penjelasan yang bertalian dengan ungkapan Sa'd bin Hilal di atas dengan cerita Nabi Adam As., yang menjelaskan tentang keistimewaan umat Nabi Saw. yang tidak Allah berikan kepadanya--Nabi Adam As.

Nabi Adam As, mengatakan, "Allah memberi empat kemuliaan pada umat Muhammad yang tidak Ia berikan kepadaku. Pertama, Allah menerima taubatku--Nabi Adam As--di Makah, sedang umat Muhammad dapat bertaubat di mana saja dan diterima taubat mereka. Kedua, ketika aku berdosa pakaianku langsung terlepas sedang umat Muhammad berosa dalam keadaan telanjang Allah kemudian mengenakan pakaian kepada mereka. Ketiga, ketika aku berodosa Allah memisahkan aku dengan istriku sedang ketika umat Muhammad  bedosa Allah tidak memisahkan mereka dengan pasangan mereka. Keempat, ketika aku berdosa aku dikeluarkan oleh Allah dari surga, sedang ketika umat Muhammad berdosa di luar surga Allah memasukkan mereka ke dalam surga setelah mereka bertaubat."

Demikianlah anugrah Allah yang amat besar. Sekalipun hamba-Nya berdosa Allah masih meberikan banyak hal kepada hamba tadi. Lebih-lebih kepada umat Nabi Muhammad Saw. yang sangat istimewa--semoga kita termasuk diakui Nabi Saw., sebagai umatnya.

Semoga yang demikian dapat kita rasakan. Kendati tidak harus melakukan dosa, jika kita terpeleset melakukan dosa  Allah mengampuni dosa-dosa kita dan masih memberi anugrah-Nya kepada kita. Amin.

Wallahu A'lam Bisshawab

Friday, June 19, 2020

Cara Memperoleh Surga

Cara Memperoleh Surga
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy
Oleh Mustamsikin

"Barang siapa mengoptimalkan empat hal maka ia akan memperoleh surga."
Hatim al-Asham

Banyak cara untuk kelak pantas menjadi penghuni surga. Hampir segala jalan kebaikan jika konsisten dikerjakan dapat dijadikan sarana memperoleh kebahagiaan di surga. Istana yang sangat mewah di alam keabadian. Istana yang sangat didambakan oleh orang-orang yang beriman.

Surga dapat diperoleh dengan berbagai jenis kebaikan sebagai tiket masuknya. Termasuk di antaranya yang disampaikan oleh kekasih Allah yang bernama Hatim al-Asham. Hatim mengatakan, "Siapa yang mengoptimalkan empat hal berikut akan memperoleh surga." Apa saja empat hal itu?.

Pertama, meninggalkan tidur hingga kubur. Syekh Nawawi memahami maksud ungkapan ini dengan seseorang meninggalkan nikmatnya tidur--di dunia sekarang ini. Ia sibuk dengan bersungguh-sungguh untuk memperoleh kenikmatan tidur di alam kubur kelak dengan berbagai amal saleh. Mempersiapan segala amal baik yang dapat menjadi bekal di alam kubur. Sehingga yang ada di kuburnya kelak berupa kenikmatan.

Kedua, meninggalkan kesombongan hingga mizan. Maksudnya seseorang tidak lagi menuturkan berbagai hal bentuk kesombongan. Melainkan ia dengan sungguh-sungguh memperbanyak amal kebajikan untuk memperberat neraca kebaikannya di hari ditimbangnya amal di akhirat nanti. Semakin ia sadar bahwa kesombongan tidak berarti dan merugikan sekaligus bergegas meninggalkannya maka seseorang tadi akan bertambah kebajikannya.

Ketiga, berbahagia hingga sampai _shirath._ Maknanya seseorang meninggalkan kesenangan jasmani untuk semakin gigih mengerjakan amal-amal saleh untuk kelak dapat menjadi sarana memperingan diri melintasi shirath atau jembatan di akhirat nantinya. Kian sungguh seseorang konsentrasi dan konsisten melakukan kebaikan maka ringan kemudian ia melintasi shirath.  

Keempat, meninggalkan syahwat hingga sampai surga. Syekh Nawawi menjelaskan bahwa penting bagi seseorang untuk mengendalikan keinginannya. Megekang nafsunya, untuk kemudian diarahkan untuk mengerjakan berbagai ibadah. Sehingga ibadah-ibadah yang dilakukan dapat ditukar nantinya dengan surga.

Meninggalkan syahwat merupakan bagian dari syarat menjadi penghuni surga. Sebab di surga dikelilingi berbagai hal yang tidak disukai oleh syahwat. Dibenci pula oleh nafsu.

Demkianlah beberapa hal yang dapat dioptimalkan sebagai cara memperoleh surga. Dengan banyak bermujahadah dalam maknannya sedikit tidur, kelak dapat menjadi bekal menikmati tidur di surga. Dengan meninggalkan kesombongan terhadap sesama dengan disertai konsentrasi mengrjakan kenajikan akan memperberat neraca kebaikan kelak di akhirat. Dengan meninggalkan kesenangan duniawai yang dibarengi dengan mengerjakan amal baik dapat mempermudah seseorang melintasi shirath. Dengan meninggalakan syahwat akan memperoleh kenikmatan di surga.

Wallahu A'lam Bisshawab

Wednesday, June 17, 2020

Jagalah Permatamu

Jagalah Permatamu
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy
Oleh Mustamsikin

"Ada empat hal yang dapat menghilangan permata dalam diri manusia"
Nabi Muhammad Saw.

Dalam diri manusia terdapat empat permata yang sangat berharga. Empat permata tersebut terdiri dari, akal, agama, rasa malu, dan amal saleh. Empat permata ini sewaktu-waktu dapat enyah dari dalam diri manusia. Maka dari itu penting untuk senantiasa menjaganya.

Untuk menjaga agar permata-permata itu tetap eksis dalam diri, maka menjadi sangat penting bagi seseorang untuk mengenali hal-hal yang dapat melenyapkannya. Apa saja itu? Nabi Saw., mengatakan, "Marah dapat menghilangkan akal, dengki dapat menghilangkan agama, tamak dapat menghilangkan rasa malu, ghibah dapat menghilangkan amal saleh."

Mengapa sedemikian penting menjaga akal? Karena darinnya kebenaran dan kebatilan dapat dikenali. Akal dapat menimbang baik dan buruk. Akal pula dapat menentukan apa yang terbaik untuk dilakukan.

Akal yang sangat penting demikian dapat hilang jika seseorang marah. Marah dapat mengacaukan sekaligus melenyapkannya. Lebih dari itu kata Nabi Saw., marah bukan saja dapat menghilangkan akal namun juga dapat merusak iman. Jika seseorang sudah marah maka akal tidak lagi mampu berpikir berimbang. Sama halnya juga jika akal terlalu senang maka ia juga tidak tepat pada posisi tengah-tengah.

Sepadan dengan pentingnya akal bagi manusia, agama pun demikian. Agama dalam arti syari'at sangat penting bagi keselamatan manusia dunia akhirat. Namun ingat, agama dapat hilang sebab timbulnya kedengkian dalam diri manusia. Kedengkian yang mendalam atas nikmat orang lain dapat mengacaukan agama. 

Seseorang dengan kedengkian dapat melanggar norma agama. Ia dapat menghalalkan segala cara untuk memuaskan kedengkiannya pada orang lain. Maka dari itu al-Qur'an pun memerintahkan agar  seseorang berlindung kepada Allah dari orang-orang yang mengumbar kedengkian-- hasidin idza hasad.

Permata dalam diri manusia yang penting dijaga berikutnya adalah rasa malu. Kita ketahui rasa malu sangat penting. Bahkan dikatakan malu adalah bagian dari iman. Saking pentingnya memiliki rasa malu, maka rasa malu pada diri seseorang harus dijaga keberadaannya. 

Jangan sampai rasa malu terancam eksistensinya sebab ketamakan. Tamak dapat memporak-porandakan pondasi dasa malu. Contoh paling nyata bahwa ketamakan dapat menanggalkan rasa malu adalah prilaku koruptif. Para koruptor yang tamak dapat menggarong kekayaan negara tanpa rasa malu. Bahkan sudah bebas dari bui tidak lama berselang masuk bui lagi sebab kasus korupsi yang berulangkali. 

Terakhir permata yang penting di jaga alam diri manusia adalah ghibah. Ghibah yang dimaksud adalah menyebutkan keburukan orang lain tidak dihadapannya atau dihadapan orang lain. Prilaku ghibah dapat menghapus amal saleh. Kesalehan yang besar pun dapat saja hilang sebab ghibah. 

Dengan seringnya ghibah amal saleh seseorang akan sirna. Yang tinggal hanyalah prilaku buruk atas orang lain. Dari amal saleh berubah menjadi gunjingan-gunjingan yang merugikan. Maka kemudian tidak tepat jika kesalehan seseorang masih ditumpangi dengan prilaku ghibah. 

Demikian kajian kitab Nasha'ihul Ibad kali ini. Semoga kita dapat mengambil manfaat darinya. Utamanya dalam menjaga keberadaan akal, agama, rasa malu dan amal saleh dengan tidak marah, dengki, tamak, dan  ghibah. 

Wallahu A'lam Bisshawab

Tuesday, June 16, 2020

Ada Apa dengan Ekspresi

Ada Apa dengan Ekspresi
Nashaihul Ibad Bab Ruba'y
Oleh Mustamsikin

"Barang siapa rindu ke surga maka beranjaklah ia  pada berbagai kebaikan. Barang siapa takut dari neraka maka ia akan memutus keinginannya nafsu. Barang siapa meyakini mati maka putuslah ia dari kelezatan. Barang siapa mengenali dunia sebagai tempatnya cobaan dan kekeruhan maka lemaslah musibah baginya."
Sayidina 'Ali bin Abi Thalib

Pengetahuan dan iman seseorang sangat mempengaruhi prilaku keseharian yang ia lakukan. Dengan pengetahuan dan iman pula, setiap derap langkahnya senantiasa dibarengi dengan pilihan-pilihan yang meyakinkan. Melalui pengatahuan dan iman pula seseorang mengekspresikan tingkah  hidupnya.  

Ekspresi seseorang yang ditopang pengetahuan dan iman, hidupnya akan lebih optimis dan memiliki pikiran positif, termasuk ketika ia memahami surga. Jika seseorang memahami bahwa surga adalah tempat yang keindahan dan kenikmatan yang hanya dapat diraih dengan amal saleh maka ia akan beranjak untuk memperbanyak amal saleh. Hal ini senada dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, "Siapa merindukan surga maka beranjaklah ia melakukan amal kebaikan."

Jika di atas dikatakan dengan berbekal pengetahuan dan iman seseorang yang rindu surga akan segera melakukan kebaikan, maka dengan pengetahuannya atas neraka ia juga akan beranjak meninggalkannya. Maksudnya meninggalkan sesuatu yang dapat menjerumuskan dirinya dalam neraka. Utamanya memperturutkan nafsu amarah. 

Menuruti nafsu sangat berbahaya, karena nafsu jika dituruti maka tak pernah berhenti. Nafsu layaknya anak balita yang senantiasa meminta asi pada ibunya. Dengan menuruti nafsu besar kemungkinan seseorang akan terperosok dalam jurang neraka. Dengan demikian penting untuk selamat dari neraka agar tidak menuruti nafsu. Oleh sebab itu tepat jika Imam Ali Bin Abi Thalib mengatakan, "Siapa yang takut dari neraka maka ia akan mencegah keinginannya nafsu."

Selanjutnya, dengan pengetahuan dan iman seseorang pun juga akan memandang kematian sebagai pemutus kenikmatan duniawi maka tidak ada terbayang lagi rasanya kenikmatan. Akan terngiang dalam tekingan, angan dan pikirannya bahwa semua kenikmatan akan sirna jika maut sudah datang. Semua yang dapat dirasakan fisik akan sirna begitu maut menjemput. Yang demikian ini senada dengan perkataan _babul ilm_ Ali bin Abi Thalib yang menyebut, "Siapa yang meyakini mati maka pustuslah rasa nikmat." 

Bila orang dengan pengetahuan dan imannya meyakini maut adalah pemutus kenikmatan maka, dengan dunia pun demikian. Akan tertanam dalam dirinya bahwa dunia adalah tempatnya susah, sedih, dan bahkan penjara bagi orang yang beriman. Jika yang tertanam sudah demikian maka musibah, ujian dan cobaan apapun yang dialami dan dirasakan seseorang di dunia akan ia anggap hal sepele. Sesuatu yang sangat lumrah dan biasa-biasa saja. 

Bagaimana sedemikian lumrah dikatakan bahwa dunia adalah tempatnya ujian dan cobaan, karena memang kenyataannya demikian. Di dunia ini masalah datang silih berganti, layaknya orang di atas bahtera ditengah samudra yang ombak tak henti-hentinya menghantam bahtera itu. Selagi ia masih berada di atas bahtera maka ia akan terus mendapati hantaman ombak yang tak pernah berhenti. Maka kemudian penting menanamkan kesadaran bahwa dunia memang tempat yang sulit. Sehingga sebesar apapun ujian san cobaan menjadi terasa ringan. Sesuai dengan kata Sayidina Ali, "Siapa yang mengenali dunia sebagai tempatnya ujian dan kekeruhan maka ujian akan menjadi lemah."

Demikianlah ekspresi seseorang yang dipandu dengan pengetahuan dan iman. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari uraian di atas.

Wallahu A'lam Bisshawab

Monday, June 15, 2020

Amalmu BagiKu

Amalmu BagiKu
Nasahihul ibad
Oleh Mustamsikin

Banyak yang tidak diketahui oleh manusia atas perbuatan yang ia lakukan. Apakah perbuatannya memiliki nilai di sisi Allah atau tidak. Apakah perbuatannya kelak memperoleh balasan di sisi Allah atau tidak. Keculai atas informasi yang disampaikan oleh Allah melalui risalah kenabian maupun melalui kitab suci-Nya.

Oleh sebab pengetahuan yang diinformasikan para nabi atau kitab suci, manusia menjadi mengerti bahwa amalnya memiliki nilai pahala. Amalnya kelak ditukar dengan surga dengan segala kenikmatan. Kebaikannya dilipatgandakan. Keburukanya dihapuskan dan begitu seterusnya. 

Termasuk di antara amal manusia yang bernilai tinggi di sisi Allah berdasarkan wahyu-Nya kepada para nabi kaum Bani Isra'il ada empat. Empat hal berikut sejatinya merupakan amal perbuatan yang nilai pahalanya dilebihkan setinggi-tinggi nya oleh Allah. Sehingga kadar pahalanya menyamai ibadah lain yang jauh lebih tinggi, seperti salat, puasa, sedekah dan jihad.

Dari keempat hal tersebut  yang pertama, berdiam diri atas kebatilan--menghindari kebatilan--bagi Allah setara nilai pahalanya dengan puasa. Bisa dibayangkan dari sini bahwa puasa memiliki pahala yang sangat besar. Kedudukkannya ibadah puasa pun sangat tinggi. Maka jika perbuatan menghindari kebatilan disetrakan nilai pahala sepadan dengan puasa maka ini sungguh balasan yang luar biasa.  

Selanjutnya, pemeliharaan seseorang atas anggota tubuhnya agar tidak melakukan hal-hal yang haram bagi Allah sepadan dengan pahala salat. Kita tahu bahwa salat merupakan ibadah yang paling utama di antara ibadah lain. Bahkan nanti ibadah salat menjadi yang pertama diperhitungkan di hadapan Allah. Oleh sebab itu jika seseorang menjaga dirinya agar tidak melakukan yang dilarang sepadan pahalanya dengan pahala salat tentu ini merupakan sebuah kistimewaan yang tak tertandingi.

Berikutnya, memutus harapan pada sesama makhluk Allah setara dengan pahala sedekah. Maksudnya jika seseorang tidak menggantungkan harapannya kepada selain Allah maka pahala yang ia peroleh sepadan dengan pahala sedekah. Dari memutus harapan sampai setara dengan sedekah tentu sebuah loncatan yang tinggi.  Maka kemudian di sinilah rahmat Allah ada bagi manusia. Rahmat berupa pelipatgandaan nilai sebuah ibadah. 

Terakhir, amal perbuatan manusia yang tinggi nilainya di sisi Allah adalah mencegah perbuatan yang menyakitkan sesama muslim. Dengan seseorang tidak menyakiti sesama, maka pahala yang ia peroleh di sisi Allah seperti pahalanya jihad. Sangat tinggi kadar nilai dan kelak balasannya. 

Demikianlah jika Allah telah berkehendak. Amal kebaikan yang mungkin di mata manusia nilainya kecil bisa jadi di sisi Allah menjadi besar. Maka kemudian tidak tepat jika seseorang mengerjakan amal baik memilah dan memilih sesuai pengetahuannya sendiri atas kemungkinan kadar pahalanya. Lebih baik mengerjakan semua amal kebajikan sesuia kadar kemampuannya walaupun itu mungkin bernilai kecil. Siapa tahu yang kecil itu yang diterima. Yang kecil itu yang diridhai. Yang kecil itu yang disambut rahmat-Nya yang besarnya tak terbatas.

Demikian uraian kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini. Semoga membawa kebaikan bagi kita semua. Amin.

Wallahu A'lam Bisshawab

Kala Diam Lebih Utama

Kala Diam Lebih Utama
Nashaihul Ibad 
Oleh Mustamsikin

"Salat adalah tiangnya agama, dan diam lebih utama. Sedekah dapat memadamkan murkanya Allah, dan diam lebih utama. Puasa menjadi penghalau api neraka, dan diam lebih utama. Jihad penanda yang paling luhur dalam agama, dan diam lebih utama."
Nabi Muhammad Saw.

Diam pada saat yang tepat memiliki banyak manfaat dan keutamaan. Di antara keutamanaannya adalah menghemat energi. Lebih-lebih pada tengah hari di bulan puasa. Dengan diam energi seseorang tidak mudah habis. Apalagi untuk hal yang sia-sia.

Di samping menghemat energi dengan diam seseorang dapat dengan mudah meninggalkan hal-hal yang kurang atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali. Sebagaimana Nabi Saw., memerintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Apalagi yang hal-hal yang dimaksud dapat menambah pundi-pundi dosa seperti ghibah (menggunjing) dan namimah adu domba. 

Lebih dari itu masih banyak keutamaan dari diam, sebagaimana dalam kutipan sabda Nabi Saw., di atas. Jika di katakan bahwa salat adalah tiangnya agama, maka diam lebih utama. Maksudnya bukan lantas diam dan tidak salat bukan. Diam dalam posisi keutamannya sangat tinggi layaknya kedudukan salat dalam agama. 

Berkait kelindan dengan hal ini, Syekh Nawawi mengutio sebuah hadis yang di dalamnya menyatakan, bahwa diam menjadi lebih tingginya ibadah. Diam di sini dimaknai Syekh Nawawi, diam dari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi urusan agama dan dunia. Sedang menolak orang yang menganiaya agama adalah ibadah. Mengapa dalam hal ini diam lebih utama karena asal banykanya kesalahan bermula dari lisan.

Selanjutnya dalam dikatakan di atas bahwa sedekah dapat memadamkan murkanya Allah, dan diam lebih utama. Pengertiannya, diam memiliki fungsi yang setara dengan sedekah. Jika sedekah mampu memadamkan api amarah maka diam mampu menutupi aib. Hal ini senada dengan sabda Nabi Saw.,--yang diukutip oleh Syekh Nawawi-- "Diam adalah perhiasan bagi orang alim--berpengetahuan--dan hijap bagi orang yang bodoh." Orang yang alim pada saat yang tepat akan semakin berwibawa dengan diam. Sebagaimana orang bodoh tidak akan diketahui kebodohannya selagi tidak  berbicara.

Berikutnya, Nabi Saw., mengatakan, "Puasa adalah penghalau--tameng-- dari api neraka,  dan diam lebih utama." Maksudnya, jika puasa dapat memghalau api neraka, maka diam juga dapat menghalau perkataan yang buruk. Menghindarkan dan menyelamatkan dari gunjing-menggunjing. Di samping itu, kata Nabi Saw., diam adalah akhlak tertinggi. 

Perlu dicatat dalam ingatan, meskipun kedudukan diam sangat tinggi, namun sebaik-baiknya diam, kata Syekh Nawawi, masih lebih baik menyibukkan diri dengan hal-hal yang menambah pahala seperti zikir, membaca al-Qur'an dan membaca ilmu. Diam yang seperti ini tidak lebih baik daripada amal-amal tersebut.

Terakhir, Nabi Saw., mengatakan,"Jihad adalah penanda paling luhur dalam agama dan diam lebih utama." Jihad sebagai amal menjadi sesuatu yang paling menonjol dalam agama. Sebagaimana diam memiliki hikmah yang sangat terang. Diam dapat mencegah dari kebodohan. Kendati hanya sedikit orang yang melakukannya.

Demikianlah uraian _ngaji_ kitab Nashaihul Ibad kali ini. Semoga uraian di atas membawa manfaat. Di samping dapat menambah wawasan bahwa diam pada saat yang tepat memiliki keutamaan yang sangat banyak. Membawa hikmah yang sangat nampak.

Wallahu A'lam Bisshwab

Empat Jenis Lautan

Empat Jenis Lautan
Nashaihul Ibad Bab Ruba'i Maqalah 7
Oleh Mustamsikin

"Lautan ada empat macam. Hawa nafsu adalah lautannya dosa. Nafsu adalah lautannya syahwat. Mati merupakan lautannya umur. Kubur adalah lautan penyesalan."
Sayyidina Umar bin Khatab 

Kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini membincang tentang petikan hikmah yang disampaikan oleh Umar bin Khatab--seperti cuplikan di atas. Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar, Umar mengkategorikan lautan menjadi empat macam. Lautan yang dimaksud tidak hanya luas namun juga sangat dalam. 

Lautan yang pertama adalah kesenangan--memeprturutkan--nafsu menjadi lautannya dosa. Tak bisa dibayangkan jika seseorang memperturutkan hawa nafsunya hingga melampaui rel syari'at, tentu tiada lain buah yang ia akan petik adalah dosa. Semakin seseorang memberi peluang nafsu untuk terus bersenang-senang maka poin dosa yang akan ia kumpulkan akan semakin banyak.

Berikutnya, lautan yang kedua adalag nafsu. Nafsu yang dipahami oleh Syekh Nawawi sebagai nafsu amarah. Nafsu amarah merupakan lautannya syahwat. Bermula dari nafsu amarah seseorang akan melakukan yang ia senangi--syahwat--tanpa henti. 

Nafsu inilah yang terus mendorong hingga  seseorang melakukan keburukan. Menuruti kesenangan nafsu. Hingga kemudian ia menyesal dikemudian hari. 

Selanjutnya, lautan yang keempat adalah mati atau binasa. Mati menjadi lautan bagi umur. Jikalau mati telah tiba banyak atau sedikit banyaknya umur tiada beda di antara keduanya. Manusia boleh saja mati saat ia masih usia belia atau sudah berusia lanjut. 

Dihadapan kematian umur manusia tiada bedanya. Satu sama lain manusia binasa dihampiri kematian. Maka kemudian tidak heran jika Umar menyatakan bahwa mati adalah lautan umur. Umur apa dan siapa saja yang pada akhirnya akan berhadapan dengan namanya mati.  

Lautan yang terakhir adalah kubur sebagai lautan penyesalan. Kata Syekh Nawawi, bagi orang yang takut dan menyangka mati tidak akan menghampirinya maka kubur menjadi momok yang menakutkan baginya. Padahal kubur sejatinya adalah lautan penyesalan yang tiada akhir. 

Jika seseorang telah menghuni rumah yang namanya kubur sedang ia tidak memiliki bekal sama sekali maka menyesallah ia. Ia tidak lagi dapat beranjak kembali dari liang kuburnya. Ia pula tidak punya kesempatan untuk menghalau penyesalan yang telah ia rasakan. 

Demikianlah kajian kitab _Nasahaihul Ibad_ kali ini. Semoga nasehat di atas dapat memantik kita untuk lebih banyak berbuat kebaikan. 

Wallahu A'lam Bisshawab

Sunday, June 14, 2020

Melirik Nikmat Sendiri

Melirik Nikmat Sendiri
Oleh Mustamsikin

Banyak anugrah yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya termasuk kita. Bagian dari anurgah-Nya adalah nikmat yang kita peroleh secara cuma-cuma. Sekalipun kita tidak meminta kita tetap diberi oleh Allah Swt. Misalnya ooksigen untuk kebutuhan pokok kita. Meskipun kita tidak pernah selalu meminta dalam hela nafas kita namun Allah tetap memberinya secara cuma-cuma pada kita. 

Anugrah Allah yang lain yang patut kita terus sebut dan ingat-ingat adalah berbagai nikmat-Nya. Apa saja bentuk nikmat itu. Bisa nikmat sehat, nikmat waktu luang, nikmat akal sempurna, fisik sempurna, hingga harta yang banyak jumlahnya.  Dengan berbagai nikmat yang demikian kita diperintahkan untuk terus menyebut-nyebutnya. Paling tidak sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang diberikan Allah.

Untuk menyukuri nikmat Allah banyak cara yang dapat kita lakukan. Baik dengan ucapan, maupun prilaku. Dengan ucapan kita dapat berucap paling tidak dengan berucap alhamdulillah sembari menyebut-nyabutnya--bukan agar dilihat orang. Sedang syukur perbuatan dapat dilakukan dengan cara berprilaku baik. Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Selain itu penting untuk menyukuri nikmat tidak perlu melirik apalagi membandingkan dengan nikmat orang lain. Sehingga, timbul prilaku hasud. Prilaku yang membahayakan bagi diri seseorang dan orang lain. Dengan seseorang tidak melirik lebih-lebih terus memperhatikan nikmat orang lain, seseorang akan terhindar dari rasa iri dan mampu untuk lebih bersyukur.

Konsentrasi pada nikmat yang dimiliki apapun itu bentuknya akan menjadikan dada ini semakin lapang. Hati tidak merasa sesak sebab kedengkian yang memuncak. Di sisi lain, nikmat apapun yang kita peroleh dan yang berada pada orang lain itu sudah sesuai porsi yang diberikan Allah Swt. Jika seseorang dengki dengan nikmat orang lain hakikatnya ia sedang tidak terima atas pemberian Allah yang telah Ia takar porsi dan ukurannya. Sedang yang seperti ini amat membahayakan bagi kita dihadapan Allah Swt.

Sebesar apapun nikmat--dengan segala bentuknya--yang diberikan Allah kepada kita, itulah yang terbaik meskipun kita juga diperintahkan untuk terus berikhtiar untuk mewujudkan cita-cita dan kehidupan yang lebih baik. Pun juga yang diberikan Allah pada orang lain yang mungkin di mata kita itu lebih banyak dari apa yang kita miliki itu juga atas kadar dan ketetapan-Nya. Dengan demikian kita akan lebih mampu untuk terus bersyukur atas bikmat Allah bukan mengufurinya.

So, mari terus bersyukur. Agar hidup lebih makmur. 
Wallahu A'lam Bisshawab.

Saturday, June 13, 2020

Manisnya Ibadah

Manisnya Ibadah
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy Maqalah 8
Oleh Mustamsikin

Tujuan utama manusia diciptakan tidak lain adalah untuk beribadah. Menyembah Allah Swt., dengan segenap penghambaan dan semaksimal mungkin. Menyembah-Nya dengan memurnikan niat semata karena, dan untuk-Nya. Tidak untuk yang lain. 

Agar ibadah kepada-Nya menyenangkan hingga timbul rasa manis dalam beribadah tentu diperlukan resep manjur. Resep ini bukan sekadar resep. Melainkan resep yang dapat menjadikan seseorang menemukan rasa dari ibadah kepada Allah. Dapat menikmati semua jenis ibadah, sehingga ia terasa krasan 'bercengkerama' dengan Allah Saw saat beribadah.   

Membincangkan resep agar ibadah terasa manis, tepat rasanya jika nasehat dari Sayidina Usman bin Afan diuraikan di sini. Pada suatu ketika, Usman mengatakan, "Manisnya ibadah ditemukan pada empat hal. Pertama, menunaikan kewajiban yang Allah perintahkan. Kedua, meningglkan larangan-larangan-Nya. Ketiga, memerintahkan kebaikan, sekaligus mencari pahala dari Allah. Keempat, melarang kemungkaran dan menjaga dari murkanya Allah."

Dari ungkapan Usman bin Afan di atas, dapat diperoleh pengajaran bahwa agar seseorang dapat merasakan manisnya ibadah maka hendaknya ia mencoba empat hal tersebut di atas. Dengan seseorang sepenuh hati menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah, secara ikhlas--dalam keadaan bagaimanapun tetap konsisten--tidak menutup kemungkinan ia akan merasakan pengaturan Allah. Merasakan bahwa menghambakan diri bukan lagi kewajiban melainkan konsekwensi hamba kepada Tuhannya. 

Selanjutnya, jika kewajiban telah ditunaikan maka kebalikannya harus dijauhi bahkan bila mampu ditinggalkan. Seorang hamba dengan sekuat tenaga meninggalkan larangan-larangan Allah, maka ia akan manisnya ibadah akan tambah terasa. Larangan yang dimkasud menurut Syekh Nawawi, meliputi larangan yang kecil maupun yang besar. 

Jika yang demikian telah dilakukan maka perlu ditingkatkan dengan berupaya mengajak, dan memerintahkan kepada sesama untuk melakukan kebaikan dengan harapan mencari pahala dari Allah. Siapa yang melakukan hal ini tentu manfaat yang ia peroleh dapat dirasakan ornag lain. Lebih-lebih tentang manisnya ibadah. Rasa manisnya ibadah juga dapat dirasakan orang lain. 

Untuk menambah kesempurnaan rasa manis ibadah, maka seseorang perlu mencoba hal keempat yang dinasehatkan oleh Usman. Yakni dengan mencegah kemungkaran berasamaan dengan menjaga murka Allah. Dengan mencegah terjadinya kemungkaran diharapkan manfaat seseorang dengan setatusnya sebagai hamba Allah akan turut mendakwahkan syari'at-Nya. Di samping memang mencegah kemungkaran memang suatu kewajiban.

Demikianlah jika seseorang hendak merasakan manisnya ibadah. Ada baiknya resep dari Usman bin Afan ini dicoba. Syukur-syukur diamalkan. Paling tidak agar ibadah tidak hanya berasa biasa-biasa saja. Tawar-tawar saja, tanpa ada rasa manis sedikit pun.   

Wallahu A'lam Bisshawab

Empat Penyempurna

Empat Penyempurna
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy Maqalah 5
Oleh Mustamsikin

Kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini mengurai empat hal yang dapat menyempurnakan empat yang lain. Empat hal berikut, merupakan ungkapan hikmah yang disampaikan oleh Abu Bakar, salah seorang sahabat utama Nabi Saw., yang bergelar al-Sidiq. Ibnu Hajar menempatkan perkataan Abu Bakar dalam kitabnya menempati urutan kelima pada bab ruba'iy. Empat  hal yang dimaksud sebagai berikut. 

Penyempurna yang pertama, ialah sujud sahwi. Sujud sahwi --sujud yang dilakukan sebelum salam sebab lalai tidak melakukan sunah ab'ad nya salat--dinilai Abu Bakar sebagai penyempurna salat. Mengapa demikian? Syekh  Nawawi menerangkan, bahwa saat mushalli melakukan hal yang menyebabkan sujud sahwi seperti ia lupa memindah bacaan salat tidak pada tempatnya. Maka yang demikian disunnahkan bagi  melaksanakan sujud ini.

Jika dirunut dari makna bacaan sujud sahwi ini menunjukkan betapa sekalipun seseorang salat ia dapat lupa. Tidak sepertihalnya Allah yang tidak pernah lupa sekalipun. Di sisi lain sujud ini hendak 'memosisikan' Allah sebagai Tuhan yang tak pernah tidur dan lupa. Menemoatkan-Nya sebagai zat yang maha sempurna. 

Berikutnya, penyempurna yang kedua adalah zakat fitrah. Zakat sebagai penyempurna puasa ramadhan. Zakat memiliki hubungan sangatlah penting dengan puasa. Ia menjadi syarat puasa pamungkas agar puasa wajib seseorang diterima oleh Allah. Maka kemudian tidak heran jika Abu Bakar menyatakan demikian. 

Kendatipun seseorang telah rampung puasa wajib namun ia enggan membayar zakat sedang ia mampu maka puasanya belum dapat diterima. Maka kemudian puasa wajib memerlukan peran zakat sebagai penyempura  agar puasa seseorang diterima oleh Allah Swt dan bernilai pahala.

Selanjutnya, penyempurna yang ketiga, _fidyah_ sebagai penyempurna ibadah haji. Terkait hal ini fidyah memiliki hubungan erat dengan ibadah haji. Menurut Syekh Nawawi, seseorang yang sedang beribadah haji dapat dikenakan membayar fidyah sebagai denda karena melakukan sebab-sebab ia dikenakan membayar fidyah Baik berupa menyembelih binatang ternak, atau yang lain. 

Penyempurna yang terakhir adalah jihad. Jihad sebagai penyempurna iman. Jihad yang dimaksud di sini dipahami oleh Syekh Nawawi dengan makna mengajak pada agama yang benar--Islam. Dengan jihad iman seseorang akan bertambah sempurna. 

Selain seseorang menjadi mukmin karena imannya ia juga memiliki peran dakwah kepada orang lain. Mengajak ke jelan yang benar. Mengajarkan agama yang benar kepada sesama. Sehingga iman yang ia miliki semakin bertambah sempurna dengan aktivitas jihad yang ia lakukan.  

Demikianlah empat hal yang dapat menyempurnakan empat hal yang lain. Meski tidak semuanya perlu dilakukan karena tidak adanya penyebab yang memicu hal-hal tersebut--seperti sujud sahwi dan fidyah bagi salat dan puasa--namun cukuplah hal-hal tersebut dapat menambah nilai sebuah ibadah yang bersinggungan dengan hal-hal penyempurna tersebut. 

Wallahu A'lam Bishawab

Empat Pengaman

Empat Pengaman
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy Maqalah 4
Oleh Mustamsikin

Dalam segala hal penting terciptanya suasana aman. Aman dari segala marabahaya. Suasana aman juga dapat menghadirkan ketenangan di dalam hati dan ketentraman dalam aktivitas. 

Tentang suasana aman, kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini fokus pada empat hal yang menjadi pengaman pada posisinya masing-masing. Empat hal yang menjadi penyebab terciptanya suasana aman. Empat hal yang dimaksud sebagaimana sabda Nabi Saw., yang dikutip oleh Ibnu Hajar. 

Pengaman pertama dalam sabda Nabi Saw., ialah bintang sebagai pengaman penduduk langit. Dalam sabda beliau, Nabi Saw., mengatakan, "Para bintang penyebab aman bagi penduduk langit. Jika rontok maka itu menjadi keputusan Allah bagi penduduk langit". Sabda Nabi Saw., ini dipahami oleh Syekh Nawawi Banten, rontoknya bintang menjadi pertanda pecah, terlipat dan matinya malaikat. 

Pengaman yang kedua adalah, ahli bait Nabi Saw. (keluarga dan keturunan beliau) sebagai penyebab aman--suasana kondusif--bagi umatnya. Nabi mengatakan, "Ahli baitku menjadi pengaman bagi umatku maka jika merka hilang maka keputusan atas umatku." Syekh Nawawi memahami maksud hilangnya ahli bait Nabi Saw., sebab nampaknya bid'ah, menangnya hawa nafsu, perbedaan akidah, nampaknya Romawi, dan selainnya. Terjadinya peristiwa tersebut menjadi penyebab ahli bait Nabi Saw., banyak yang hilang--wafat.

Pengaman yang ketiga, Nabi Saw., sebagai penentram sahabat-sahabat beliau. Nabi Saw., mengatakan, "Aku menjadi pengaman bagi sahabat-sahabatku. Jika aku telah tiada maka keputusan terjadi pada sahabat-sahabatku." Maksud sabda Nabi Saw., ini dapat dipahami bahwa ia merupakan sosok yang senantiasa merahmati alam semesta. Utamanya para sahabat-sahabat beliau yang hidup secara langsung menjadi saksi hidup bersama beliau. Semasa dengan beliau. 

Nabi Saw., sebagai paling baiknya makhluk pembimbing umat, mampu menentramkan siapapun tak terkecuali sahabat-sahabat beliau. Hal ini nampak jelas ketika beliau wafat, belum sempat beliau disemayamkan para sahabat sudah saling berselisih satu dengan yang lain untuk menentukan pengganti beliau sebagai pemimpin pemerintahan Islam.

Pengaman yang terakhir adalah gunung bagi bumi. Kedudukan gunung kata Nabi Saw., sebagai pengaman bumi. Jika gunung telah tiada--boleh jadi meletus--maka bumi akan terancam. Jika gunung meletus saja dapat memporak-porandakan bumi dan dataran di bawahnya apalagi jika gunung lenyap berhamburan seperti debu. Niscaya bumi boleh jadi akan mengalami kehancuran dahsyat.

Demikianlah kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dan manfaat dari sabda Nabi Saw., yang dikutip oleh Ibnu Hajar di atas. 

Wallahu A'lam Bisshawab

Membincang Empat yang Memenuhi Haknya Ibadah

Membincang Empat yang Memenuhi Haknya Ibadah
Nashaihul Ibad Bab Ruba'i Maqalah 6
Oleh Mustamsikin

Kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini fokus pada kalam hikmah yang disampaikan oleh Abdullah bin al-Mubarak. Sekilas Ibnul Mubarak merupakan ulama' yang masyhur memiliki ungkapan penting tentang keharusan memiliki guru yang terkenal dengan istilah sanad. Sanad menurutnya adalah bagian dari agama. 

Kembali pada pembahasan utama tentang nasehat Abdullah bin al-Mubarak sebagaimana dikutib oleh Ibnu Hajar tentang empat hal yang memenuhi haknya ibadah. Empat hal yang dimaksud bertalian erat dengan ibadah salat, membaca al-Qur'an, puasa dan sedekah. Untuk lebih lanjut mari ikuti uraian berikut. 

Abdullah bin al-Mubarak mengatakan, "Barangsiapa setiap harinya salat sunah dua belas rekaat maka ia telah memenuhi haknya salat. Barangsiapa puasa tiga hari setiap bulannya, maka ia telah memenuhi haknya puasa. Barangsiapa dalam setiap harinya membaca seratus ayat maka ia telah memenuhi haknya membaca al-Qur'an. Barangsiapa setiap jumat bersedekah dengan dirham--uang--maka ia telah memenuhi haknya sedekah. 

Dari ungkapan Abdullah bin al-Mubarak di atas, hal pertama yang dapat pumemenuhi ibadah adalah menunaikan salat sunah dengan jumlah dua belas rekaat. Dua belas rakaat salat sunah yang dimaksud dipahami oleh Syekh Nawawi, terdiri atas salat sunah rawatib yang meliputi dua rekaat sebelum salat subuh, dua rekaat sebelum zuhur dan dua setelahnya, empat rekaat sebelum asar, dan dua rekaat setelah maghrib. Untuk memperkuat penjelasannya Syekh Nawawi, mengutip sebuah riwayat dari Imam Muslim, yang berisikan siapa-siapa yang salat sunah dua belas rekaat dalam seharinya maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga. 

Selanjutnya, Abdullah bin al-Mubarak dalam ungkapannya di atas juga menerangkan pentingnya puasa sunah tiga hari dalam sebulan. Puasa tiga hari ini menurut Syekh Nawawi disebut dengan puasa yaumul bidh yakni puasa tanggal tiga belas, empat belas, lima belas, bulan qamariyyah. Menurutnya juga, hikmah dari puasa tiga hari setiap bulan seperti puasa sebulan penuh. Hal ini dipandang dari kelipatan kebaikan yakni setiap kebaikannya dilipatkan sepuluh kali.

Berikutnya, termasuk yang dapat memenuhi haknya ibadah menurut Abdullah bin al-Mubarak adalah membaca seratus ayat al-Qur'an dalam sehari. Seseorang yang membaca ayat al-Qur'an sejumlah seratus ayat setiap harinya maka sungguh ia telah memenuhi haknya membaca al-Qur'an. Dalam artian ia telah memenuhi standar minimal jumlah ayat al-Qur'an yang ia baca dalam seharinya. Selain itu, tentu akan lebih jika membacanya lebih dari seratus ayat. 

Terakhir, dalam pernyataan Abdullah bin al-Mubarak sebagai pemenuh haknya sedekah adalah sedekah senilai satu dirham pada hari jumat. Barang siapa yang mampu bersedekah senilai satu dirham pada hari jumat maka baginya telah memenuhi haknya--standar--sedekah. Yang demikian tidak menutup kemungkinan jika jumlah yanh disedekahkan lebuh banyak lagi tentu lebih baik.

Demikian uraian ngaji kitab kali ini. Semoga kajian ini bermanfaat. Menambah wawasan sekaligus berupaya meningkatkan semangat ibadah dengan memahami penjelasan kajian di atas.

Wallahu A'lam Bisshawab

Friday, June 12, 2020

Resep Menulis Cepat Prof. Mulyadhi Kartanegara


Resep Menulis Cepat Prof. Mulyadhi Kartanegara
Oleh Mustamsikin

Banyak ulama klasik  yang telah menulis ratusan karya. Hampir mereka menulis di atas kertas dengan menggoreskan pena. Sembari mengoreskan penanya mereka dengan cekatan menuangkan ide-ide yang ada dalam pikiran. Kemudian jadilah berbagai maha karya agung yang dapat kita nikmati hingga saat ini. 

Jika ulama dulu memiliki kecakapan dalam menulis yang demikian kuat maka hadirlah Prof. Mulyadhi Kartanegara sebagai cendekiawan abad ini yang tampil sebagai ilmuan muslim dengan segudang karya. Nama beliau begitu masyhur di jagat tulis nasional hingga internaisonal. Ratusan bahkan hingga puluhan ribu tulisan telah beliau selesaikan baik dalam bentuk buku maupun artikel ilmiah hingga tulisan ringan di media sosial.

Penulis memandang Prof. Mulyadhi sebagai ilmuan yang tampil sebagai Ibn Jarir At Thabari abad ini. Mengapa demikian? Sebab penulis menilai bahwa Prof. Mul adalah ilmuan muslim yang mampu menulis dengan sangat cepat. Selain itu tentu beliau adalah penulis yang sangat konsisten. 

Apa bukti konsistensi beliau? Beliau terus tanpa henti menulis baik ringan maupun berat hingga beliau menguraikan beberapa tips menulis cepat. Dari teori pertama menulis dengan niat mengharap ridah Allah dengan berpasrah mengikuti ketentuannya, disusul menulis dengan tangan tanpa jeda, kemudian menulis dengan sepontan tampa hambataan referensi, lanjut dengan ketenangan jiwa yang memeperlancar jadinya sebuah tulisan hingga memahami benar apa yang ditulis dan mau kemana tulisan itu di bawa. 


Rangkuman tips tersebut jika diurai sedikit panjang akan berjumlah lima. Lima tips menulis cepat ala Prof. Mulyadhi. Penulis memandang semua tips yang Prof. Mulyadhi paparkan semuanya mengandung nilai-nilai dan unsur keikhlasan, konsistensi, kecakapan, ketenangan, dan penguasaan. 

Demikianlah beberapa rangkuman tentang tips menulis cepat berkarya hebat ala Prof. Mulyadhi Kartanegara. Semoga beliau terus inspiratif mencerahkan dan mampu menjadi teladan dalam menghasilkan karya. Begitu juga bagi kita semoga mampu meniru aktivitas beliau dalam berkarya.

Wallahu A'lam Bisshwab
Keterangan gambar diambil dari status FB Prof. Mulyadhi

Thursday, June 11, 2020

Badai Pasti Berlalu

Badai Pasti Berlalu
Oleh Mustamsikin

Dalam kehidupan kita tidak terlepas dengan dua keadaan yang saling bertolak belakang. Antara perasaan senang, sedih, bahagia, atau menderita. Dua keadaan yang demikian adalah contoh kecil bahwa kehidupan kita tidak tetap. Terkadang senang terkadang pula sedih. Kadang bahagia kadang pula menderita.  

Perubahan keadaan yang demikian pasti akan dialami setiap yang hidup tak terkecuali kita. Sebab tarik ulur antara dua keadaan yang demikianlah menjadi satu alasan kita mampu bertahan hidup. Sebagaimana juga bumi ini masih ada sebab tarik ulur kebaikan dan keburukan. Tidak mungkin rasanya seseorang secara konsisten selalu dalam keadaan senang dan gembira. Tidak juga seseorang terus dilanda dengan perasaan sedih dan menderita.

Dengan silih bergantinya keadaan yang demikian mengajarkan kita untuk selalu siap untuk menghadapi setiap keadaan yang terjadi. Kita harus mampu menjalani hidup dalam dua keadaan yang selalu berubah. Sehingga jika dalam satu keadaan kita sedang baik-baik dan bersuka ria kita patut waspada sebab suatu ketika pasti akan datang keadaan yang membuat kita bersedih dan menangis. Sebaliknya jika sedang dalam keadaan yang serba sulit kita harus tetap optimis bahwa keadaan yang demikian tidak akan konsisiten. Badai pasti akan  berlalu.

Contoh nyata keadaan yang sulit seperti sekarang ini, suatu saat akan usai. Pandemi Covid-19 ini akan berakhir dan meninggalkan banyak kenangan dan pengajaran. Kita harus yakin demikianlah yang kelak akan terjadi. Pandemi ini akan usai, dan meninggalkan banyak kesan dan pesan untuk kehidupan mendatang. Paling tidak dari pandemi ini akan tertulis kisah perjuangan hidup untuk bertahan dalam keadaan yang serba carut marut untuk diceritakan di kemudian hari. 

So, kita harus memupuk rasa optimis bahwa bagaimanapun keadaan yang terjadi saat ini akan berganti. Akan tiba saatnya kita kembali normal dengan se normal-normlanya. Hidup kembali damai dengan tanpa rasa terhantui oleh perasaan dan ancaman dari Covid-19. 

Wallahu A'lam Bisshawab.

Wednesday, June 10, 2020

Adab Qur'ani

Adab Qur'ani
Syajaratul Ma'arif
Oleh Mustamsikin

Adab atau akhlak sangatlah penting dalam semua sendi kehidupan sosial masyarakat. Tanpa adab niscaya manusia laksana seperti lalat. Hinggap di sembarang tempat tanpa memedulikan apa yang harus ia sesuaikan dengan tempat itu. Lebih dari itu adab yang baik akan melahirkan hubungan sosial yang harmonis. 

Untuk menunjang hubungan yang harmonis demikian al-Qur'an mengajarkan adab yang dapat dipelajari dalam kehidupan. Tentang hal ini penting kiranya menyimak uraian dalam Syaikh Al-Izz bin Abdissalam (w.660h.) tentang adab qur'ani dalam Syajaratul Ma'arif. Untuk lebih lanjut mari simak sekmen berikut ini. 

Berkaitan dengan adab atau akhlak qur'ani, Al-Izz membaginya dalam dua bagian. Pertama, berakhlak dengan karakteristik kehambaan seperti merasa hina dan berlaku melakukan ketundukan. Kedua, berakhlak dengan sebagian sifat ketuhanan seperti adil dan berbuat kebaikan. (h.5)

Dengan klasifikiasi Al-Izz di atas setidaknya penulis menarik satu pemahaman untuk bagian yang pertama, bahwasannya secara qur'ani seseorang hendaknya memiliki akhlak yang baik dengan merasa rendah di hadapan Allah yang disertai dengan rasa ketundukan kepada-Nya. Akhlak ini sangatlah penting, sebab dengan merasa hina akan menghindarkan seseorang dari rasa sombong dan sok suci. Sedang dengan ketundukan seseorang merasa sebagai hamba yang senantiasa rela untuk mengikuti aturan tuannya yakni Allah Swt.

Adapun bagian yang kedua, tentang berakhlak dengan sifat ketuhanan seseorang hendaknya berbudi baik dengan meniru sifat-sifat Allah. Meskipun tentunya tidak semua sifat Allah boleh dijadikan sebagai panduan. Sebab terdapat kekhususan yang hanya ada pada Allah tidak selain-Nya. Apa itu? Tanpa permulaan, selalu abadi, dan tidak membutuhkan selain-Nya. Adapun yang mungkin dijadikan panduan akhlak adalah karater selain yang telah sifat Allah yang telah disebutkan tadi. Misalnya saja sifat dermawan, malu, murah hati, dan menepati janji. Sifat-sifat ketuhanan yang seperti inilah yang boleh diterapkan dalam kehidupan. 

Selanjutnya jika ada yang bertanya, Allah kan memiliki karkter al-Kibriya' maha sombong dan al-Udhmah maha agung. Pertanyaannya, apakah boleh manusia sebagai hambanya berlaku demikian? Jawabnya tidak boleh. Sebab Al-Izz dalam memandang sifat Allah sebagai akhlak membaginya menjadi dua. Pertama tidak mungkin dari sifat Allah itu dapat dijadikan panduan akhlak, seperti sifat agung dan sombong. Kedua, mungkin dan boleh untuk berakhlak dengan sifat Allah seperti menepati janji, dermawan, murah hati dan selainnya. (h.5)

Berakhak dengan meniru beberapa sifat-sifat Allah yang--boleh--demikian semampunya akan mendatangkan rida Allah. Allah yang maha pengasih akan senantiasa mencurahkan kasih-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang meiliki akhlak yang baik. Selain itu dengan akhlak yang baik juga secara otomatis akan mempermalukan setan.  

Demikianlah akhlak qur'ani dalam pandangan Al-Izz. Semoga akhlak-akhlak yang demikian dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam berbudi dan beretika. Semoga kita mampu untuk berakhlak secara qur'ani dengan sekuat tenaga.

Wallahu A'lam Bisshawab.

Empat Keburukan

Empat Keburukan dan yang Lebih Buruk Darinya
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy Maqalah 3
Oleh Mustamsikin

Sebagaimana kebaikan yang beragam, keburukan pun demikian. Keburukan pun banyak ragamnya. Meski sebenarnya keburukan itu sendiri tidak ada, namun orang yang berlaku buruk menjadikan keburukan itu seakan 'ada'. 

Membicarakan tentang keburukan, kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini akan mengulas tentang keburukan yang lebih buruk dipandang dari sisi pelakunya. Keburukan yang demikian dikatakan oleh ahli hikmah--sebagaimana dikutip Ibnu Hajar--ada empat. 

Keburukan yang pertama, dosa. Perbuatan dosa seorang pemuda itu buruk namun dosa yang dilakukan oleh orang tua lebih buruk. Siapapun pelaku dosa itu pada dasarnya buruk, sekalipun itu pemuda. Lebih buruk lagi jika dosa itu dilakukan orang tua. Tentang keburukan ini, penulis teringat ungkapan tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi. 

Sudah barang tentu jika orang yang umurnya sudah uzur masih saja berbuat dosa akan sangat buruk dalam pandangan. Usia yang sudah lanjut seharusnya dipergunakan untuk berbuat baik sebagai bekal kehidupan setelah mati nanti. Bukan malah untuk digunakan menimbun dosa. 

Berikutnya keburukan yang kedua adalah sibuk atas  urusan dunia. Sibuk atas perkara dunia bagi orang bodoh itu buruk namun lebih buruk lagi jika dilakukan orang alim--berpengetahuan. Dari keburukan jenis ini, sibut atas dunia dapat ditolelir atas orang yang tidak tahu dibanding dengan orang yang mengerti.  

Hal yang demikian selaras dengan sabda Nabi Saw., yang dikutip oleh Syekh Nawawi. "Barang siapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah zuhud atas dunia maka tidak bertambah hubungannya dengan Allah kecuali semakin jauh." Dari hadis ini dapat dipahami bahwa sebaiknya seiring bertmbahnya pengetahuan seseorang semakin zuhud. Dapat mengelola hatinya dari keterikatan dengan sesuatu yang sifatnya duniawi. 

Selanjutnya, keburukan yang ketiga, malas taat kepada Allah. Malas melakukan ketaatan yang dilakukan manusia yang awam itu buruk, lebih buruk lagi jika itu terjadi pada ulama' dan pencari ilmu. Keburukan yang seprti ini tentu dapat mengherankan. Malas dalam taat kepada Allah boleh jadi wajar--meski buruk--dilakukan manusia awam, akan tetapi lebih mengherankan jika ulama' atau pencari ilmu yang memilki kedudukan tinggi malas taat kepada Allah. 

Idealnya malas taat kepada Allah itu tidak terjadi pada ulama, pewaris para nabi. Ulama tidak boleh malas. Ia harus senantiasa sesuai dengan perintah Allah dalam segala tindakan. Tidak boleh bermalas-malasan, yang sehingga merusak citra ulama itu sendiri.

Keburukan yang keempat adalah sombong. Sombong itu buruk dilakukan oleh orang kaya namun lebih buruk lagi jika orang fakir atau miskin melakukan hal ini. Idealnya sombong memang ada pada orang kaya--meski itu buruk, namun akan menjadi aneh dan lebih parah jika itu ada pada diri orang fakir. Orang kaya pantas ada yang disombongkan kekayaannya misalnya, namun orang fakir atau miskin? Apa coba yang dapat disombongkan. 

Nah, sombong seperti ini tidak pantas ada pada diri orang fakir maupun miskin. Berkaitan dengan hal ini penulis teringat dengan ungkapan, "Sudah miskin belagu." Sudah miskin masih saja sombong.

Demikianlah uraian tentang keburukan yang nilainya bertambah dipandang dari pelakunya. Semoga kajian ini bermanfaat.

Wallahu A'lam Bisshawab

Tuesday, June 9, 2020

Empat Kebaikan

Empat Kebaikan dan Kebaikan yang Lebih Baik darinya
Nashaihul Ibad Bab Ruba'iy Maqalah 2
Oleh Mustamsikin

Kebaikan banyak ragam dan macamnya. Lebih luas kebaikan adalah segala tindakan yang dibenarkan dan dianggap baik oleh agama dan adat masyarakat secara umum. Di sisi lain kebaikan mudah sekali dikenal. Al-Qur'an menyebutnya sebagai sesuatu yang ma'ruf.

Membincangkan kebaikan, dalam kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini akan dibahas secara ringkas tentang kebaikan yang jika kebaikan itu dilakukan oleh orang yang lebih tepat akan bernilai lebih. Tentang hal tersebut terdapat empat kebaikan yang dikutip oleh Ibnu Hajar dari para ahli hikmah. 

Kebaikan yang pertama, sifat pemalu indah dan baik bagi kaum laki-laki namun akan lebih baik jika itu ada pada perempuan. Jika sifat malu itu ada pada perempuan tentu akan lebih elegan dan indah meski bagi laki-laki itu sudah menjadi kebaikan tersendiri. Jika perempuan dikatakan sebagai 'imadul bilad (tiangnya negara) maka sudah tepat ia memiliki rasa malu dan tentunya mampu menjaga kemaluannya.

Kebaikan yang kedua yakni, adil bagi setiap orang itu baik namun lebih baik lagi adil itu ada pada para pemimpin. Maksudnya memang adil--seimbang tidak zalim--baik dimiliki setiap orang. Akan tetapi jika adil ada pada diri pemimpin yang memiliki kekuasaan tentu lebih menempati posisinya. Hal ini tidak jauh karena pemimpin memiliki kekuasaan yang mampu memaksa yang ia pimpin melakukan keinginannya. Maka beruntunglah jika sekelompok masyarakat dipimpin oleh pemimpin memiliki sifat adil. Sehingga kemudian, ia tidak semana-mena dalam mengambil kebijakan.

Kebaikan yang ketiga, taubat itu baik bagi lansia namun lebih baik jika taubat dilakukan para pemuda. Tentang baiknya taubat ini, dapat dibayangkan betapa orang tua atau lanjut usia sadar dan konsisten bertaubat mrupakan aktivitas yang 'maha' penting sebelum ia kembali kehadirat-Nya. Namun demikian lebih menakjubkan dari itu jika taubat dilakukan oleh para pemuda. Remaja misalnya. Maka pertaubatan yang demikian sangat lebih baik dan utama.

Kebaikan yang keempat, dermawan. Prilaku dermawan baik dilakukan oleh orang-orang kaya para aghniya'. Namun lebih dari itu dermawan akan lebih baik lagi jika dilakukan oleh orang-orang faqir. Dermawan yang demikian tentu memiliki nilai yang sangat tinggi dipandang dari sisi pelakunya. Bagaimana tidak mengherankan jika dermawan ada pada para fakir miskin. Bagi dirinya sendiri yang sangat terbatas saja masih mampu memberi orang lain. 

Demikianlah uraian tentang empat kebaikan. Semoga kebaikan tersebut ada pada diri kita semua. Amin. 

Wallahu A'lam Bisshawab

Bekal Menuju Rumah Keabadian

Bekal Menuju Rumah Keabadian
Nashihul Ibad Bab Ruba'iy Bagian 1
Oleh Mustamsikin

Pangkal kehidupan ini tak lain dan tak bukan adalah kehidupan abadi di akhirat. Tidak ada akhir yang lebih jauh darinya. Tempat yang disebut al-Qur'an sebagai yang khairun lebih baik dan abqa lebih kekal dari dunia.

Sebagai pangkal dari perjalanan hidup yang telah digariskan Yang Maha Kuasa, tentu dibutuhkan berbagai bekal. Tidak cukup itu saja. Niat yang kuat didukung dengan keteguhan dan kesungguhan untuk menggapai kebahagiaan kelak diakhirat menjadi penopang utama disamping saku untuk bekal yang cukup. 

Untuk menuju tempat yang abadi ini, Ibnu Hajar mengutip sebuah hadis tentang bekal menuju akhirat. Bekal yang dimaksud ada empat. Sebagaimana Nabi Saw., memberikan pengajaran kepada sahabat Abu Dzar al-Ghifari. Nabi Saw., mengatakan, "Hai Abu Dzar perbaharui perahumu  karena lautan itu dalam; Bawalah saku yang sempurna karena perjalanan sangat jauh; Ringankan bawaanmu karena jalan yang sempit sulit pendakiaannya; Ikhlaslah dalam beramal karena Allah sebagai penilai Maha Melihat."

Dari sabda Nabi Saw, di atas dapat dipahami bahwa untuk menuju akhirat ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, senantiasa memperbaharui kendaraan. Dalam artian terus memperbaiki niat--sebagaimana penjelasan Syaikh Nawawi al-Jawi. Yang demikian bertujuan supaya selamat dari siksa Allah Saw. Kedua, memperbanyak bekal karena perjalanan ke sana sangat jauh dan menyulitkan. Ketiga, peringan barang bawaan--barang-barang duniawai--yang dapat memperberat langkah ke sana. Keempat, murnikan segala amal yang diperbuat, sebab amal yang diperhitungkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui berdasarkan kadar keihkhlasan yang menyertainya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kehidupan sejati adalah nanti. Kelak di akhirat. Kehidupan yang kekal lagi tidak akan lagi ada kehidupan selebihnya. Maka dari itulah dunia ini diibaratkan ladang yang nantinya di ladang itu supaya ditanami sehingga dapat dipetik hasil panennya dikemudian hari untuk ditukar dengan kehidulan yang lebih layak di akhirat. 

Demikianlah kajian kitab Nashaihul Ibad kali ini. Semoga bermanfaat. 

Wallahu A'lam Bissahwab
Keterangan foto Sonora.id

Monday, June 8, 2020

Mendidik dan Memuliakan Anak

 Mendidik dan Memuliakan Anak
Oleh Mustamsikin

"Muliakan anak-anak kalian. Sesungguhnya siapa yang memuliakan anak-anaknya akan dimuliakan Allah di surga. Sesungguhnya di surga terdapat rumah yang disebut dengan dar al-Farh tidak dapat memasukinya kecuali orang yang menggembirakan anak-anak."*
Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Anak merupakan kado pernikahan yang amat luar biasa dari  Allah zat yang maha kuasa. Anak juga merupakan anugrah sekaligus amanah dari Allah bagi pasangan suami istri yang Ia kehendaki untuk menjaganya. Amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Sebab anak adalah amanah maka wajib bagi orang tua untuk menjaga amanah besar ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai amanah ini terabaikan begitu saja, hingga kelak amanah ini akan menjadi fitnah dan musibah. 

Untuk menjaga amanah ini tidak mudah tentunya. Harus diperlukan perjuangan secara konsisten. Mulai dari anak baru lahir hingga anak itu dewasa. Perjuangan yang cukup berat inilah yang menjadi alasan mengapa menjadi orang tua yang senantiasa mendidik anaknya akan dibalas oleh Allah dengan sebaik-baik balasan. Bagi orang tua yang sukses mendidik anaknya akan memperoleh pahala yang begitu besar, sekaligus kelak ia akan memetik buah kerjanya di masa mendatang.

Mengapa pahala mendidik anak begitu besar? Sebab sejatinya kewajiban mendidik anak setara dengan kewajiban menghormati orang tua. Tentang hal ini Nabi Saw., menyinggung bahwa memuliakan anak akan menjadi penghalang masuk neraka. Selain itu Nabi Saw., juga memerintahkan pada orang tua agar mendidik adab pada anaknya, kurang lebih Nabi Saw., mengatakan,"Muliakan anak-anak kalian dan didiklah baik adab mereka." (1)

Selanjutnya, pendidikan untuk anak begitu penting. Selain di atas disinggung anak adalah amanah yang harus dijaga mendidik anak adalah kewajiban setiap orang tua yang tak dapat ditawar. Orang tua yang enggan mendidik anak kelak ia akan menyesali perbuatannya dikemudian hari. Bukan saja azab yang ia peroleh di akhirat kelak, di dunia orang tua yang seperti ini akan dipermalukan oleh anak-anak mereka. Siapa yang mendidik anak dengan benar kelak ia akan bahagia. Sebaliknya siapa yang mendidik anak dengan ceroboh maka ia kelak akan sengsara.

Kesengsaraan menjadi orang tua sebab menelantarkan anak akan terjadi di dunia bahkan di akhirat kelak. Tidak menutup kemungkinan kesalahan anak akan menyeret orang tua dimahkamah akhirat. Anak akan menuntut orang tua sebab haknya tidak dipenuhi. Tidak didik semestinya sebagaimana perintah agama. 

Maka bagi orang tua sangat penting selalu memantau anak dengan semestinya. Pendidkannya, pergaulannya, kecenderungan bertemannya, akhlak dan prilakunya. Yang demikian merupakan tugas orang tua sebagai pemangku amanah dari Allah Swt. Jika dengan pendidikan orang tua anak menjadi baik maka kebaikan akan kembali juga pada orang tua. Sebaliknya jika anak menjadi buruk sebab kesalahan pendidikan orang tua terhadapnya maka orang tua akan menanggung jua akibanya. 

Sebagai penutup, mari sama-sama berhati hati dalam menjaga anak, mendidik, serta memenuhi hak-haknya. Selain amanah anak juga titipan. Sewaktu-waktu anak dapat diambil oleh pemiliknya. Maka dari itulah memenuhi hak-hak anak sejak dini adalah cara terbaik untuk menjaga amanah dan titipan-Nya ini.

Wallahu A'lam Bisshawab
*(1) Kitab Lubabul Hadis Karya Jalaluddin Al-Syuyuthi h. 49.