Obrolan Haji
Oleh Mustamsikin
Semalam di sela-sela rapat rutin selapanan madrasah diniyah takmiliyyah MTU Pon. Pes. Panggung Tulungagung, terlintas obrolan seputar ibadah haji. Utamanya tentang informasi pemberangkatan calon jemaah haji, kriteria calon jemaah haji, biaya haji, dan masa tunggu antrian ibadah haji.
Obrolan yang berlangsung gayeng di antara asatidz madrasah tentang haji semalam turut memberikan wawasan bahwa ibadah haji memang butuh persiapan. Para calon jemaah setidaknya harus menyiapkan fisik, batin, dan saku tepatnya utamnya uang. Khusus pembahasan tentang duit sering disebut-sebut.
Dalam obrolan semalam meski hanya sebagai pendengar paling tidak informasi tentang haji dapat memberi wawasan yang bisa dibilang bermanfaat. Penulis menyadari dengan penuh kalau sudah obrolan tentang haji penulis merasa minder, rasa-rasanya penulis hati menjadi ciut. Terlebih kalau kata duit diulang-ulang. Belum lagi antrian pemberangkatan yang kian tahun kian lama.
Boleh jadi yang tahun ini baru daftar lewat jalur reguler akan dimungkinkan berangkat dua puluh lima sampai tiga puluh tahun lagi. Itu pun kalau tidak ada kendala pemberangkatan seperti melonjaknya dana ibadah haji, sakit permanen atau meninggal sebelum berangkat. Jika diteropong melalui sudut biaya, kalau sekarang puluhan juta--kisaran lima puluh juta--lebih kira-kira tiga puluh tahun yang akan datang bisa jadi mencapai ratusan juta.
Kendati demikian penulis yakin dengan keyakinan penuh bahwa siapa pun orangnya, seberapapun lama masa tunggunya, seber apa pun biaya yang harus dikeluarkan jika memang dikehendaki sebagai tamu Allah Swt., pasti akan dimudahkan. Boleh jadi dapat kuota haji gratis, kemudian langsung berangkat hingga mendapat predikat haji mabrur.
Kalau sudah masuk ke ranah itu tiada yang mustahil. Sehingga siapa pun harus punya keyakinan bahwa Ibadah haji wajib bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Lalu bagi yang belum mampu ya berdoa dan berusaha memantaskan diri untuk menjadi tamunya Allah. Sehingga ikhtiar yang demikian dapat mengikis tumbuhnya rasa patah semangat untuk sekadar ingin mendaftar sebagai calon jemaah haji.
Melanjutkan peristiwa semalam, tadi sore penulis dapat undangan walimatus safar tasyakuran darintetangga yang minggu depan akan bernagkat ke tanah suci. Walimah yang intinya minta doa restu dan makan-makan tadi mengingatkan kembali bahwa biaya haji lagi-lagi tidak sedikit. Jika saban calon jemaah haji akan berangkat dan kepulangannya harus tasyakuran sebagai acara serimonial maka pasti akan menambah ketersediaan biaya yang tidak sedikit. Setara biaya ngunduh mantu mungkin.
Seremonial yang demikian menurut penulis kian hari menjadi menu wajib di masyarakat, meski itu semua adalah erat dengan budaya masing-masing daerah. Hingga kemudian tidak jarang seremonial bukan menjadi penyemangat malah menjadi momok sebab ada biaya yang dikeluarkan dan itu banyak. Kalau dalam pernikahan bisa disamakan dengan acara resepsi. Ada yang biasa ada yang berlebihan.
Serunya acara serimonial yang demikian telah membudaya, sehingga membuat calon jemaah haji bisa pusing jika tidak benar-benar siap. Apalagi serimonial yang seperti itu kini merebak. Bukan hanya orang yang akan dan pulang dari menunaikan ibadah haji saja, melainkan orang yang akan dsn telah pulang umroh pun di paksa oleh budaya demikian. Sungguh terlalu.
Hemat penulis acara serimonial yang seperti itu di masyarakat perlu dibenahi. Agar tidak membuat kehidupan semakin sempit oleh hal-hal yang tidak substantif. Paling tidak acara serimonial tidak dijadikan prioritas dan tolak ukur keberhasilan.
Nah itu saja, namanya juga obrolan.
Semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam Bisshawab.
Kediri, 26-05-2023
No comments:
Post a Comment