Edisi Ngaji Fikih Menyamak Kulit Binatang
Sebab menganggur dari kerja, penulis mencoba kembali untuk membuka buku-buku lawas yang pernah penulis pelajari di pesantren. Di antara buku itu adalah kitab Fathul Qarib karya Muhammad bin Qasim Al-Ghuzi syarah Taqrib karya Abu Syujak.
Sambil terbata-bata dengan makna jawa--utawi iki iku, penulis kembali membaca kitab yang sudah lusuh sebab terlalu lama di pajang. Sebagaimana lazimnya pelajar di pesantren penulis membaca dengan keras sembari merenungi makna dan memahaminya pelan-pelan.
Setelah sekian menit membaca satu pasal tentang cara menyamak kulit bangkai binatang dan kriteria binatang yang boleh dan tidak untuk disamak. Usai membaca dengan pelan tapi pasti penulis membaca kandungan makna teks yang penulis baca sembari membuka penjelasan dari ulama melalui kitab Al-Bajuri dan Al-Tazhib.
Dalam deretan teks yang penulis baca terdapat sebuah keteragan bahwa kulit bangkai binatang dapat suci setelah disamak kecuali dua jenis binatang yakni Anjing dan Babi berikut ketutunan keduanya atau salah satunya. Mengapa kulit keduanya tidak bisa suci, Syekh Mushthafa Dib Al-Bugha, menjelaskan bahwa Anjing dan Babi semasa hidupnya najis maka tidak bisa suci bagiannya--seperti kulit--setelah kematinnya.
Duh setelah penulis merenungi penjelasan ini, penulis merasa kasihan Anjing dan Babi berikut keturunannya adalah percontohan binatang yang terpinggirkan. Sudah malang semasa hidup berlanjut setelah mati. Kenajisannya pun menyangkut sekaligus keturunannya, meskipun wujudnya boleh jadi berupa bintang yang boleh dimakan dagingnya--Anjing melahirkan Kambing.
Sejalan dengan penjelasan ini, Syekh Bajuri dalam penjelasannya mengutip kalimat indah,
"Ketika nasab baik orang tua akan menjadikan baik anak keturunannya, barang siapa kagum sungguh serius ia akan tergores duri bunga mawar."
"Dan sungguh sebuah keburukan bagi anak yang jelek dari nasab yang baik, supaya nampak rahasia Allah membolak-balik dan menjatuhkan."
Kutipan pernyataan ulama di atas sungguh mengena, dan dapat dijadikan pelajaran. Pertama, idealnya orang yang baik berpotensi melahirkan generasi yang baik. Oleh sebab itulah orang yang hendak mendapat keturunan baik memantaskan diri dan mencari pasangan yang baik. Kedua, orang yang baik harus menjaga keturunannya sehingga menjadi generasi yang baik pula. Sebab keturunan akan mencerminkan orang tuanya. Generasi mencerminkan pendahuluanya. Ketiga, generasi harus sekuat tenaga memantaskan diri memiliki kualitas lebih dari pendahulunya. Setidaknya setara dalam prestasinya.
Selain penjelasan mengenai ini, di akhir pasal penulis kitab menyatakan bahwa jenazah tidak termasuk najis--sebagai pengecualian, sebab Allah memuliakan anak turun Adam. Saking mulianya manusia Allah menganugerahkan bentuk penciptaan yang paling baik di antara mahkluk-Nya yang lain. Maka dari itulah sepantasnya manusia menjaga kemuliannya sehingga tidak jatuh lebih rendah dari binatang.
Demikian renungan atas bacaan penulis kali ini. Semoga memberi manfaat walau sedikit.
Wallahu A'lam Bisshawab
Kediri, 28 Mei 2023.
No comments:
Post a Comment