MUSTAMSIKIN

Tafsir Al-Hasan Al-Bashriy

Sunday, May 28, 2023

Merenungi Bacaan

Merenungi Bacaan 
Edisi Ngaji Fikih Menyamak Kulit Binatang

Sebab menganggur dari kerja, penulis mencoba kembali untuk membuka buku-buku lawas yang pernah penulis pelajari di pesantren. Di antara buku itu adalah kitab Fathul Qarib karya Muhammad bin Qasim Al-Ghuzi syarah Taqrib karya Abu Syujak. 

Sambil terbata-bata dengan makna jawa--utawi iki iku, penulis kembali membaca kitab yang sudah lusuh sebab terlalu lama di pajang. Sebagaimana lazimnya pelajar di pesantren penulis membaca dengan keras sembari merenungi makna dan memahaminya pelan-pelan. 

Setelah sekian menit membaca satu pasal tentang cara menyamak kulit bangkai binatang dan kriteria binatang yang boleh dan tidak untuk disamak. Usai membaca dengan pelan tapi pasti penulis membaca kandungan makna teks yang penulis baca sembari membuka penjelasan dari ulama melalui kitab Al-Bajuri dan Al-Tazhib.

Dalam deretan teks yang penulis baca terdapat sebuah keteragan bahwa kulit bangkai binatang dapat suci setelah disamak kecuali dua jenis binatang yakni Anjing dan Babi berikut ketutunan keduanya atau salah satunya. Mengapa kulit keduanya tidak bisa suci, Syekh Mushthafa Dib Al-Bugha, menjelaskan bahwa Anjing dan Babi semasa hidupnya najis maka tidak bisa suci bagiannya--seperti kulit--setelah kematinnya. 

Duh setelah penulis merenungi penjelasan ini, penulis merasa kasihan Anjing dan Babi berikut keturunannya adalah percontohan binatang yang terpinggirkan. Sudah malang semasa hidup berlanjut setelah mati. Kenajisannya pun menyangkut  sekaligus keturunannya, meskipun wujudnya boleh jadi berupa bintang yang boleh dimakan dagingnya--Anjing melahirkan Kambing. 

Sejalan dengan penjelasan ini, Syekh Bajuri dalam penjelasannya mengutip kalimat indah, 

"Ketika nasab baik orang tua akan menjadikan baik anak keturunannya, barang siapa kagum sungguh serius ia akan tergores duri bunga mawar."

"Dan sungguh sebuah keburukan bagi anak yang jelek dari nasab yang baik, supaya nampak rahasia Allah membolak-balik dan menjatuhkan."

Kutipan pernyataan ulama di atas sungguh mengena, dan dapat dijadikan pelajaran.  Pertama, idealnya orang yang baik berpotensi melahirkan generasi yang baik. Oleh sebab itulah orang yang hendak mendapat keturunan baik memantaskan diri dan mencari pasangan yang baik. Kedua, orang yang baik harus menjaga keturunannya sehingga menjadi generasi yang baik pula. Sebab keturunan akan mencerminkan orang tuanya. Generasi mencerminkan pendahuluanya. Ketiga, generasi harus sekuat tenaga memantaskan diri memiliki kualitas lebih dari pendahulunya. Setidaknya setara dalam prestasinya. 

Selain penjelasan mengenai ini, di akhir pasal penulis kitab menyatakan bahwa jenazah tidak termasuk najis--sebagai pengecualian, sebab Allah memuliakan anak turun Adam. Saking mulianya manusia Allah menganugerahkan bentuk penciptaan yang paling baik di antara mahkluk-Nya yang lain. Maka dari itulah sepantasnya manusia menjaga kemuliannya sehingga tidak jatuh lebih rendah dari binatang. 

Demikian renungan atas bacaan penulis kali ini. Semoga memberi manfaat walau sedikit. 

Wallahu A'lam Bisshawab 
Kediri, 28 Mei 2023.

Friday, May 26, 2023

Obrolan Haji

Obrolan Haji
Oleh Mustamsikin

Semalam di sela-sela rapat rutin selapanan madrasah diniyah takmiliyyah MTU Pon. Pes. Panggung Tulungagung, terlintas obrolan seputar ibadah haji. Utamanya tentang informasi pemberangkatan calon jemaah haji, kriteria calon jemaah haji, biaya haji, dan masa tunggu antrian ibadah haji.

Obrolan yang berlangsung gayeng di antara asatidz madrasah tentang haji semalam turut memberikan wawasan bahwa ibadah haji memang butuh persiapan. Para calon jemaah setidaknya harus menyiapkan fisik, batin, dan saku tepatnya utamnya uang. Khusus pembahasan tentang duit sering disebut-sebut. 

Dalam obrolan semalam meski hanya sebagai pendengar paling tidak informasi tentang haji dapat memberi wawasan yang bisa dibilang bermanfaat. Penulis menyadari dengan penuh kalau sudah obrolan tentang haji penulis merasa minder, rasa-rasanya penulis hati menjadi ciut. Terlebih kalau kata duit diulang-ulang. Belum lagi antrian pemberangkatan yang kian tahun kian lama. 

Boleh jadi yang tahun ini baru daftar lewat jalur reguler akan dimungkinkan berangkat dua puluh lima sampai tiga puluh tahun lagi. Itu pun kalau tidak ada kendala pemberangkatan seperti melonjaknya dana ibadah haji, sakit permanen atau meninggal sebelum berangkat. Jika diteropong melalui sudut biaya, kalau sekarang puluhan juta--kisaran lima puluh juta--lebih kira-kira tiga puluh tahun yang akan datang bisa jadi mencapai ratusan juta. 

Kendati demikian penulis yakin dengan keyakinan penuh bahwa siapa pun orangnya, seberapapun lama masa tunggunya, seber apa pun biaya yang harus dikeluarkan jika memang dikehendaki sebagai tamu Allah Swt., pasti akan dimudahkan. Boleh jadi dapat kuota haji gratis, kemudian langsung berangkat hingga mendapat predikat haji mabrur.

Kalau sudah masuk ke ranah itu tiada yang mustahil. Sehingga siapa pun harus punya keyakinan bahwa Ibadah haji wajib bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Lalu bagi yang belum mampu ya berdoa dan berusaha memantaskan diri untuk menjadi tamunya Allah. Sehingga ikhtiar yang demikian dapat mengikis tumbuhnya rasa patah semangat untuk sekadar ingin mendaftar sebagai calon jemaah haji. 

Melanjutkan peristiwa semalam, tadi sore penulis dapat undangan walimatus safar tasyakuran darintetangga yang minggu depan akan bernagkat ke tanah suci. Walimah yang intinya minta doa restu dan makan-makan tadi mengingatkan kembali bahwa biaya haji lagi-lagi tidak sedikit. Jika saban calon jemaah haji akan berangkat dan kepulangannya harus tasyakuran sebagai acara serimonial maka pasti akan menambah ketersediaan biaya yang tidak sedikit. Setara biaya ngunduh mantu mungkin. 

Seremonial yang demikian menurut penulis kian hari menjadi menu wajib di masyarakat, meski itu semua adalah erat dengan budaya masing-masing daerah. Hingga kemudian tidak jarang seremonial bukan menjadi penyemangat malah menjadi momok sebab ada biaya yang dikeluarkan dan itu banyak. Kalau dalam pernikahan bisa disamakan dengan acara resepsi. Ada yang biasa ada yang berlebihan. 

Serunya acara serimonial yang demikian telah membudaya, sehingga membuat calon jemaah haji bisa pusing jika tidak benar-benar siap. Apalagi serimonial yang seperti itu kini merebak. Bukan hanya orang yang akan dan pulang dari menunaikan ibadah haji saja, melainkan orang yang akan dsn telah pulang umroh pun di paksa oleh budaya demikian. Sungguh terlalu.

Hemat penulis acara serimonial yang seperti itu di masyarakat perlu dibenahi. Agar tidak membuat kehidupan semakin sempit oleh hal-hal yang tidak substantif. Paling tidak acara serimonial tidak dijadikan prioritas dan tolak ukur keberhasilan. 

Nah itu saja, namanya juga obrolan. 
Semoga bermanfaat. 

Wallahu A'lam Bisshawab. 
Kediri, 26-05-2023