MUSTAMSIKIN

Tafsir Al-Hasan Al-Bashriy

Sunday, November 8, 2020

Sarana Bersuci dan Tujuannya

Sarana Bersuci dan Tujuannya
Oleh Mustamsikin

Sebelum bersuci atau thaharah penting untuk terlebih dahulu mengenal berbagai sarana atau alat yang dapat digunakan untuk bersuci. Baik bersuci dari hadas maupun najis. Hal ini menjadi penting sebab tanpa mengetahui terlebih dahulu mustahil untuk menggunakannya.

Membincang sarana bersuci, terdapat empat yakni, air, debu, alat menyamak, batu untuk istinjak (cebok). Empat sarana atau alat tersebut dapat dioprasikan untuk bersuci jika memenuhi syarat-syarat masing-masing di antaranya. Air dapat memyucikan jika ia memikiki sifat mutlak--tidak terikat oleh sifat apapun--seperti air teh (air yang sudah bercampur dengan teh). Debu jika ia murni dan belum pernah digunakan untuk bersuci atau musta'mal. Alat menyamak dengan syarat memiliki sifat masam (Jawa: Sepet) yang dapat menghilangkan busuknya kulit bangkai.  Batu untuk istinjak dengan syarat suci, keras, bukan batu yang dimuliakan.

Beberapa sarana atau bersuci di atas merupakan alat yang sering dan lazim kita ketahui. Utamanya dalam mazhab Syafi'iy. Akan tetapi tidak menutup ruang adanya alat bersuci berupa api--dalam pendalat mazhab Hanafiy.  Meski hanya sebagai pengetahuan dan tidak perlu untuk dicoba namun tetap penting bahwa api dapat digunakan sebagai alat bersuci. Mengutip penjelasan Gus Baha' barangkali jika ada orang masuk neraka terlebih dahulu ia akan suci kemudian setelah dibakar dengan api neraka sehingga pantas masuk surga. 

Kemudian diatas juga disebutkan bahwa air, merupakan alat bersuci. Dalam tinjauan  sementara sebagian sufi, air dapat menghidupkan ruh. Sebagaimana sifat air yang dapat digunakan menyirami tanaman yang mati. Sehingga ruh hidup dan sadar ketika ia sedang menghadap Allah saat beribadah. 

Setelah mengenal sarana bersuci di atas, perlu diketahui juga beberapa tujuan bersuci. Tujuan bersuci  yang dimaksud ada empat yakni wudhu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis. Masing-masing di antaranya akan diuraiakan lebih lanjut pada pembahasan mendatang.

Demikian uraian mengenai sarana bersuci dan tujuannya. Semoga bermanfaat. 

Wallahu A'lam Bisshawab
Kediri, 08-11-2020 

Sumber bacaan. Al-Yaqut Al-Nafis, Al-Mizan Al-Kubra, Rahmatul Umah.

Saturday, November 7, 2020

THAHARAH

Thaharah
Oleh Mustamsikin

Memahami syarat-syarat ibadah sangat penting. Apalagi ibadah seperti salat yang diantara syaratnya harus bersiah dari hadas dan najis. Paling tidak sebagai permulaan perlu sekali dengan mengkaji dan memahami istilah thaharah atau bersuci. 

Thaharah secara bahasa memiliki arti kebersihan dan kejernihan dari kotoran yang dapat dipotret oleh panca indra maupun secara maknawi seperti sifat tercela (aib). Sedang secara istilah thaharah yakni melakukan aktivitas yang dapat melegalkan bolehnya ibadah meskipun dengan sebagian jalan--alternatif--seperti tayammum, atau untuk memperoleh pahala seperti mandi sunah.

Berangkat dari definisi di atas penting dipahami bahwa thaharah begitu penting. Tanpa mengenal dan mendalami secara komprehensif (menyeluruh) tentang makna bersuci dan hal-hal yang bertalian dengannya ibadah--yang mempersyaratkan bersuci terlebih dahulu--seseorang akan sia-sia. Misalnya seseorang yang menjalankan salat namun ia tidak _istinjak_ atau cebok setelah buang air besar. Bagiamana pula misalnya orang yang terkena kotoran ayam kemudian langsung mengerjakan salat. Contoh yang demikian merupakan hal-hal yang fatal dalam beribadah sebab tidak memahami tatacara bersuci dan yang bertalian dengannya.

Dari pengertian thaharah di atas juga disinggung tentang bersih dari sifat tercela.   Maksudnya dalam skup tang lebih luas bersuci tidak hanya dari hadas dan najis sebagaimana yang umum diketahui dalam pembahasan fikih, namun juga bersuci dari sifat tercela seperti dengki. Bahkan,  sebagian ulama ada memberikan kategori thaharahnatau bersuci dengan tingkatan-tingkatan hirarkis. 

Pertama, bersuci pada bagian lahir atau luar dari hadas. Kedua, bersuci pada anggota badan dari kesalahan dan dosa. Ketiga, menyucikan hati dari akhlak tercela. Keempat, menyucikan bilik rahasia (sir) dari mengingat selain Allah sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi dan kelompok siddiqin.

Dari klasifikasi ingkatan-tingkatan thaharah inilah kemudian penulis memandang bahwa ada titik-titik pemisah antara komunitas orang awam dengan orang khas. Kendati demikian itulah tingkatan, atau tahapan  atau apalah yang sehingga seseorang dapat berupaya lebih baik untuk selalu meningkatkan kedekatan pada Allah, paling tidak dengan memperhatikan sudah sejauh mana ia berthaharah. 

Perlu di catat pula seseorang tidak akan sampai pada tingkatan teratas besuci kecuali ia mendaki tangga pertama terlebih dahulu. Yakni bersuci dari hadas dan najis. Beru kemudian bertahap hingga ia memasuki bilik, takhalli, tahalli, dan tajalli. Sebagaimana kita pahami dalam tingkatan maqamat dan ahwalnya para sufi. 

Demikianlah, secuplik makna thaharah dalam silang rumusan fuqaha' dan shufiyyah. Untuk selanjutnya akan dibahas tentang belantara kajian dalam thaharah seperti wudhu, tayamum, cara menghilangkan najis dan lain-lain. 

Wallahu A'lam Bisshawab
Kediri, 07-11-2020.
Sumber Rujukan, Al-Yaqut Al-Nafis Fi Mazhab Ibn Idris karya Habib Ahmad bin Umar Al-Syatiriy dan Mukhatshar Ihya' Ulumuddin.

Storan sunah.

Friday, November 6, 2020

FIKIH

Fikih
Oleh Mustamsikin

Dalam setiap cabang ilmu tak terkecuali fikih tidak terlepas dari sepuluh hal yang bertalian dengannya. Meliputi, pengertian, tema, faidah, problematika, nama, referensi, hukum mengkajinya, hubungan dengan ilmu lain, keutamaan dan peletak atau pencentusnya. Sepuluh hal inilah yang kemudian disebut epistemologi ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. 

Bertalian dengan memahami fikih sebagai ilmu, sepuluh hal ini harus diketahui. Pertama, definisi fikih. Fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci. Sedang tema fikih atau pokok bahasan fikih adalah perbuatan orang (mukallaf) orang yang dituntut menjalankan perintah Allah. 

Kemudian, faidah fikih adalah menjalankan perintah dan menjahui larangan. Adapun problematika atau masalah dalam fikih adalah masalah yang hadir dalam bahasan di dalam fikih. Selain problemtika, nama ilmu ini disebut dengan fikih. Yang sumber referensinya adalah al-Qur'an, hadis, ijmak dan qiyas. 

Dalam hukum memelajarinya, adalah fardu'ain. Wajib, dalam hal-hal ibadah, muamalah, nikah yang hanya akan sah dengannya. Demikian sudah cukup sedang lebih dari itu merupakan kesunahan. Hubungan fikih selalu update dan kontekstual. Keutamaan fikih adalah mengungguli ilmu-ilmu lain. Peletaknya adalah para imam mujtahid.

Demikian yang perlu dipahami dari fikih. Untuk memperluas bacaan pembaca dapat merujuk kitab-kitab fikih yang otoritatif.

_Wallahu A'lam_

Dikutip dari _Al-Yaqut Al-Nafis Fi Madzhabi Ibn Idris_ Karya Habib Ahmad bin Umar Al-Syatiri h. 14-15.