MUSTAMSIKIN

Tafsir Al-Hasan Al-Bashriy

Thursday, October 15, 2020

Jangan Ikut Menjadi Pengatur

Jangan Ikut Menjadi Pengatur
Literasi Kitab Kuning 2
Oleh Mustamsikin

Kehendakmu untuk tajrid bersamaan penempatan Allah atasmu pada asbab bagian dari keinginan yang samar. Dan kehendakmu pada asbab bersamaan kehendak Allah atasmu pada tajrid tersungkur dari cita-cita yang luhur (Syaikh Ibn 'Athaillah Al-Sakandariy)

Jamak diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Ia ada sebab diwujudkan, ia tidak ada sebab ditiadakan. Keberadaanya adalah mumkinul wujud sesuatu yang mungkin bukan sesuatu yang wajib layaknya Allah Swt. Sehingga sudah barang tentu sesuatu yang mungkin tidak mampu mengatur dirinya sendiri. 

Bukti lain bahwa manusia lemah adalah tidak dapat menarik kembali ruh saat hendak meninggalkan jasad. Jangakan menarik ruh yang mau lepas, memilih orang tua dan kapan ia harus dilahirkan saja manusia tidak mampu.

Bersamaan dengan kelemahan pada diri manusia seperti inilah yang kemudian ia harus pula sadar. Harus mau tunduk aturan yang ditetapkan oleh Allah yang mengatur. Mengikuti, kehendak dan ketetapan Allah Swt.Termasuk dalam hal kapan ia harus memosisikan diri pada keadaan yang dihidangkan Allah. Kapan ia harus memilih asbab (memenuhi kebutuhan duniawinya dengan kerja keras) atau ia harus memilih tidak melakukan tindakan itu (tajrid). Sebagaimana ungkapan Ibnu 'Ata'illah dalam kitab Al-Hikam sebagimana di atas.

Bertalian dengan pemahaman mengenai asbab maupun tajrid keduanya dapt dimaknai sebagai kedudukan dalam suatu keadaan atau keduanya menurut Kiai Imron Jamil keduanya ibarat hidangan. Yakni hidangan Allah Swt pada manusia. Keduanya dihidangkan namun kapan ia harus menikmati itu menunggu izin dari Allah. Ketika manusia disuguhkan dan dizinkan dengan hidangan asbab dalam arti ia harus menikmati hidangan itu. Yakni dengan berusaha keras bekerja--dengan berbagai jenisnya--untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak boleh kemudian ia berkeinginan berhenti bekerja atau ingin di PHK (mentajrid dirinya sendiri). Jika manusia tadi memikmati hidangan ini sesuai pilihan Allah maka sungguh ia telah patuh kepadanya. Namun jika ia memilih sendiri--di dudukkan pada asbab namun memilih tajrid maka ia telah terserat sahwat yang samar. 

Sebagai permisalan ketika seseorang memilih tajdir meninggalkan asbab adalah ketika seseorang usia kerja kemudian sudah memperoleh pekerjaan mapan namun ia ingin menganggur meninggalkan pekerjaannya. Orang yang seperti ini dapat dikatakan memilih kehendaknya sendiri untuk tidak menikmati hidangan Allah. Jika telah demikian maka Allah pula akan memasrahkan segala urusan atas pilihan orang tersebut (tidak turut campur apapun yang terjadi kemudian). 

Sepadan dengan hal  di atas ketika seseorang memilih menikmati menu asbab sedang ia dihindangkan pada menu tajrid maka yang demikian ini juga tidak baik--dalam arti tidak sesui dengan kehendak Allah. Misal, orang yang sudah uzur kemudian ia memaksa dirinya melakukan kerja kasar misalnya. Maka orang yang seperti ini kata Ibnu 'Ata'illah mengalami kemerosotan dari cita-cita atau kedudukan yang luhur. Seharusnya orang seperti ini tidak lagi memaksakan diri tetap memikirkan duniawi--kerja kasar misalnya--padahal ia tidak lagi mampu. Yang seperti inilah dikatakan sebagai orang yang mengatur dirinya sendiri tidak mau menjaga adab atas pengaturan Allah. 

Selanjutnya, untuk mengatahui apakah ia menikmati atau tidak hidangan Allah berupa asbab atau tajrid sesuai kehendak-Nya Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Randiy mengatakan, "Jika kamu dilanggengkan Allah pada kedudukan itu (asbab atau tajrid) hingga kamu memperoleh hasil." Ungkapan Al-Randiy, ini memberi penegasan bahwa orang yang kehendaknya sesuai dengan kehendak Allah ia akan memperoleh sampai pada hasil. Sebaliknya jika tidak sesuai dengan kehendak Allah maka ia tidak akan akan memperoleh hasil. 

Demikianlah sekelumit ilustrasi tentang ungkapan Syekh Ibnu 'Atha'illah tentang dua hidangan Allah asbab dan tajrid. Meski kadang manusia sering keliru memilih, namun begitulah manusia. Asal ia sadar bahwa ia makhluk lemah yang hanya menerima diatur oleh Allah maka masih baiklah ia. Paling tidak menurut pandangan Ibnu' Ata'illah.

Di sisi lain, memang tidak mudah dan diperlukan latihan ekstra keras mengamini kalimat bijak Syekh Ibnu 'Atha'illah. Kalimat-kalimat penunjuk kedudukan tinggi pengucapnya di hadapan Allah. Di tambah lagi perlu iman yang kokoh, tauhid yang mapan dan kesadaran yang jernih yang didukung dengan hidayah dari Allah Swt.

Terakhir semoga penjelasan di atas ada manfaatnya. Paling tidak untuk menumbuhkan kesadaran bahwa Allah adalah pengatur sesungguhnya. Manusia tinggal menurut perintah dan kehendaknya--hanya menerima diatur bukan ikut mengatur. Toh sudah barnag tentu manusia tetap manusia yang tak pernah lepas dari kelemahan dan keterbatasan. 

Wallahu A'lam Bishawab
Kediri, 14-10-2020.
Sumber foto http://www.dkislamiyah.co.id/produk-kami/122/MATN-ALHIKAM-ALATHAIYYAH.html

Tuesday, October 13, 2020

Berpegang Pada Amal

Berpegang Pada Amal
Literasi Kitab Kuning Al-Hikam
Oleh Mustamsikin

"Di antara tanda berpegang pada amal adalah pupusnya harapan ketika terjadinya kesalahan"
(Ahmad bin Ata'illah Al-Sakandariy)

Bagi orang telah memiliki keyakinan penuh pada penciptanya yakni Allah Swt., maka tidaklah ia menyandarkan apa yang ia lakukan pada dirinya. Semuanya dikembalikan kepada Allah Swt. Kebaikan atau keburukan yang ia lakukan semata-mata sebab berlakunya qadha' dan qadar-Nya.

Keyakinan yang demikian di kenal dalam dunia tasauf sebagai maqamnya para 'arifun (ahli ma'rifat dengan Allah). Ahli ma'rifat yang menyelamkan dirinya pada lautan tauhid. Pengesaan pada Allah zat yang maha tunggal. Para orang seperti inlah yang hanya berpegang erat pada Allah tidak selainnya.

Kuatnya pegangan para 'arifun menjadikan mereka berpredikat sebagai golongan yang berkebalikan dengan jahilun. Sebagimana Muhammad bin Ibrahim Al-Randiy mengatakan, "Berpegang pada Allah adalah sifat para 'arifun muwahhidun sedang berpegang pada seliannya merupakan adalah sifat para jahilun yang lalai.

Mengapa para 'arifun sedemikian kuat mereka berpengang pada Allah semata, sebab meraka telah menyaksikan sedemikian rupa pengaturan Allah disertai dengan kedudukan yang amat dekat dengan-Nya. Sehingga kebaikan ataupun kesalahan yang mereka lakukan tidak lagi mereka sandarkan pada diri mereka sendiri. Sebab terjadinya kebaikan atau keburukan yang mereka lakukan tak lain tak bukan adalah berlakuknya takdir Allah Swt. Sebab semuanya Allah, maka harapan atau raja'  dan takut khauf meraka setara. Takut meraka tidak berkurang dan pengharapan mereka tidak pula bertambah. 

Di sisi lain para 'arifun telah menggapai maqam (kedudukan) fana'  atau sirna, lenyap serta hengkangnya rasa peng-aku-an pada dirinya. Tidak lagi mengaku atau merasa ia adalah subyek. Misalnya ia mengatakan, "Ini aku yang melakukan. Ini aku yang mengendalikan. Ini jasaku ini, ini kepunyaanku, ini kehendakku, ini kekuasaanku, ini kesalahanku." Dan peng-aku-an ini, itu yang lain.

Jika seseorang telah mencapai kedudukan seperti ini maka duduklah ia setara dengan ungkapan Ibnu Ata'illah di atas. Ia tidak lagi berpegang pada amal semata. Sebab amal yang ia lakukan dan keadaan yang meliputi dirinya sejatinya adalah garis ketetapan Allah. Sejatinya bukan ia yang melakukan, tapi Allah. Allah yang menciptakan manusia dan perbuatannya sekaligus. Di saat yang sama maka ia tidak akan pernah putus asa dan terus ada harapan ampunan Allah dari Allah, ketika tergelincir pada kesalahan. Toh juga kesalahan itu juga perbuatan yang diciptakan Allah dan diberlakukan kepada hambanya. 

Demikianlah sekelumit tentang bahasan atas ungkapan menarik Ibnu 'Ata' illah Al-Sakandariy dalam magnum opusnya kitab Al-Hikam. Meski mungkin ungkapan seperti ini adalah cerminan ekspresi kedudukan yang telah diperoleh Ibnu 'Ata'illah, namun tidak menutup ruang kita menggapainya. Bahkan dapat menjadi solusi dikalah setan menggoda kita memupus harapan dan membuntui jalan ketika kita hendak bertaubat atas kesalahan yang kita lakukan. 

Di samping itu, penulis yakin bahwa ungkapan-ungkapan dalam kitab Al-Hikam seperti di atas dapat kita amini. Dapat ditempuh dan dicerna serta dirasakan. Diupayakan untuk digapai. Sehingga tak lagi ada rasa ragu apakah Allah masih membuka pintu taubat ataukah sudah menutupnya rapat-rapat. 

Demikian kajian pada kesempatan ini semoaga bermanfaat. Semoga ada kesempatan kembali untuk kajian yang selanjutnya. 

Wallahu A'lam Bisshwab
Kediri, 13-10-2020.
Sumber bacaanSyarhul Hikam Ibnu Ibad Ar-Randiy